Header Ads

Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J

Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J
Menyikapi Kekerasan Sipin Dalam Binkai Penegakan HUkum Dan NKRI https://ift.tt/eA8V8J

Tribratanews.kepri.Polri.go.id – Keberadaan kelompok-kelompok sipil yang dapat menggunakan kekerasan secara ‘sahih’ di luar aparatus represif negara serta maraknya aksi-aksi intimidasi dan kekerasan oleh kelompok tersebut (vigilantisme), kerap menjadi catatan khusus dalam memahami proses demokratisasi di Indonesia. Pasalnya, meskipun demokratisasi di Indonesia telah berjalan lebih dari satu setengah dasawarsa, kekerasan sipil serta kelompok-kelompok vigilante tetap ada.

Beberapa kasus kekerasan sipil yang mencuat pasca Reformasi antara lain pembubaraan diskusi, penganiayaan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas serta penyerangan terhadap rumah ibadah. Namun, fenomena semacam itu bukan hal yang baru di Indonesia. Sepanjang Orde Baru, kekerasan sipil juga telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari yang berpuncak pada pengorganisasian kelompok preman dalam wadah Pemuda Pancasila.

Pertanyaannya, mengapa negara yang seringkali dianggap sebagai aktor yang paling bertanggung jawab terhadap ketertiban sosial tampak mengabaikan adanya aksi-aksi kekerasan dan kelompok vigilante?

Menurut saya, fenomena vigilantisme merupakan produk dari struktur ekonomi-politik yang menghendaki penggunaan kekerasan sipil sebagai elemen penting suatu negara dalam proses akumulasi sumber daya. Keberadaan kekerasan sipil, dengan demikian, inheren di dalam proses pembentukan negara dan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Argumen ini merupakan kritik terhadap pandangan yang menilai munculnya kelompok vigilante sebagai akibat lemahnya penegakan hukum pada era demokrasi yang terdesentralisasi atau akibat kekuasaan yang semakin terfragmentasi.

Diskursus Negara dan Kekerasan

Beberapa pengamat, akademisi, serta aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) menilai fenomena vigilantisme sebagai produk dari kegagalan negara dalam menjamin perlindungan sosial kepada warganya. Kegagalan itu juga diyakini sebagai manifestasi dari lemahnya penegakan hukum, baik yang berkaitan dengan aparaturnya maupun sistemnya. Negara, di satu sisi, dapat dipandang abai dalam melindungi warganya dari kekerasan, tetapi di sisi lain juga dapat diklaim secara sengaja membutuhkan aktor-aktor kekerasan sipil itu sebagai proxy (perwakilan dari).

Pandangan semacam itu sesungguhnya lahir dari asumsi bahwa negara adalah aktor yang memonopoli penggunaan kekerasan yang sahih dalam suatu teritori tertentu, seperti yang didefinisikan oleh ilmuwan politik Max Weber. Namun, karena kekuasaan negara dianggap tidak selalu dapat merengkuh semua yang ada dalam batas teritorinya, agen-agen non-negara diperlukan untuk melengkapinya.

Asumsi tersebut juga seturut dengan pengertian vigilantisme itu sendiri, bahwa ‘tindakan main hakim sendiri’ lahir karena negara dianggap tidak mampu menegakkan ketertiban. Argumen yang sama sering pula dikutip oleh kelompok-kelompok semacam Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan Pemuda Pancasila (PP) untuk melegitimasi penggunaan kekerasan.

Sementara itu, dengan menolak perspektif Weberian di atas, pandangan yang lain menilai vigilantisme sebagai manifestasi kekuasaan negara yang tidak pernah benar-benar terpusat dan otonom. Monopoli penggunaan kekerasan oleh negara dianggap hanya imajinasi belaka, tidak pernah mewujud sebagai kenyataan. Hakekat kekuasaan negara, dengan kata lain, senantiasa dalam keadaan terfragmentasi. Kehadiran kelompok-kelompok vigilante adalah wujud fragmentasi kekuasaan itu sekaligus penantang negara dalam menegakkan otonomi dan monopoli penggunaan kekerasan.

Pengertian Weberian tentang negara yang memonopoli penggunaan kekerasan secara sahih pada akhirnya juga dapat diperluas kepada kelompok-kelompok kekerasan sipil tersebut. Jika negara memperoleh kesahihan penggunaan kekerasan melalui legitimasi legal, kelompok vigilante meraihnya melalui dukungan publik dan pada segi tertentu juga pembiaran negara.

Retorika tentang nahi munkar (atau mencegah kesesatan dalam Islam) atau diskursus tentang anti-komunisme dan pembelaan atas Pancasila, misalnya, kerap digunakan untuk memperoleh dukungan publik atas eksistensi dan tindakan kekerasan oleh kelompok semacam FPI hingga Pemuda Pancasila.

Ekonomi-Politik Kekerasan Sipil

Pandangan-pandangan di atas menurut saya memiliki dua kelemahan pokok. Pertama, keduanya memandang demokrasi mengandung anomali dan kontradiksi. Di satu sisi demokrasi menjamin kebebasan, di sisi lain ia memberi kesempatan kemunculan kelompok-kelompok kekerasan. Dengan kata lain, vigilantisme lahir karena tersedianya kesempatan politik yang dijamin oleh institusi demokrasi tetapi tidak dilengkapi oleh memadainya kapasitas negara dalam menjamin keamanan warganya.

Situasi semacam ini juga sering dipandang sebagai gambaran bahwa demokrasi di Indonesia belum mencapai tahap perkembangan yang matang atau disebut juga masih dalam fase transisi. Namun, sampai kapan transisi demokrasi berlangsung dan apa yang menjadi ukuran? Jawaban atas pertanyaan ini tidak pernah jelas. Yang ada, tesis transisi demokrasi justru melegitimasi terus berlangsungnya praktik vigilantisme karena pemaklumannya sebagai fenomena transisi.

Kenyataanya, kekerasan sipil bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak era otoriter Soeharto yang sering dipahami memiliki kapasitas yang kuat dengan kekuasaan yang tersentralisasi, kekerasan sipil telah hadir menyertai proses pembentukan negara dan perkembangan kapitalisme. Bahkan sejak era kolonial Belanda, fenomena serupa juga telah hadir.

Kelemahan kedua dengan demikian berkaitan dengan kecenderungan analisis yang bersifat ahistoris karena mengabaikan struktur ekonomi-politik yang melahirkan kekerasan sipil itu. Artinya, kelompok-kelompok vigilante itu pada kenyataannya dapat hadir dalam berbagai konteks politik yang berbeda-beda, baik saat kekuasaan terdesentralisasi atau tersentralisasi, dalam konteks demokrasi maupun otoriter, serta dalam konteks negara yang lemah maupun kuat.

Kehadiran vigilantisme, dengan kata lain, tidak berhubungan dengan lemahnya kapasitas negara, tidak berjalannya penegakkan hukum atau terdesentralisasinya kekuasaan. Keberadaan kekerasan sipil lebih ditentukan oleh bekerjanya hubungan-hubungan kekuasaan yang ditopang oleh aliansi birokrasi-kapital dalam proses akumulasi kekayaan. Struktur ekonomi-politik semacam ini yang memungkinkan negara, di satu sisi, terlihat mengabaikan, tetapi di sisi lain, tampak memanfaatkan kelompok vigilante untuk kepentingan tertentu.

Namun, dalam setiap periode perkembangan sejarah, bentuk-bentuk penggunaan kekerasan sipil, aktor-aktor yang menjadi aliansi utama, serta kepentingan-kepentingan yang muncul itu berbeda-beda sebagai produk perkembangan kapitalisme dan negara.

Geneologi Kekerasan Sipil

Jika pada era kolonial Belanda, jago, jawara dan preman dimanfaatkan untuk memungut pajak, mencegah pembentukan serikat buruh perkebunan serta mengintimidasi kelompok pemberontak, pada era kolonial Jepang kelompok yang sama dimobilisasi sebagai milisi-milisi untuk melawan Sekutu.

Pasca kemerdekaan, kelompok preman juga telah dimobilisasi oleh partai-partai politik untuk memobilisasi dukungan publik seperti laskar Sabilillah yang dibentuk oleh Masyumi, Barisan Banteng yang terafiliasi dengan PNI dan Pesindo yang terafiliasi dengan PKI.

Tentara pada periode tersebut juga telah menggunakan instrumen kekerasan sipil untuk memperoleh dukungan publik dalam upaya membubarkan konstituante. Hal itu dilakukan dengan membentuk Ikatan Pemuda Kemerdekaan Indonesia (IPKI) pada tahun 1952. Selain itu, dalam melawan dominasi komunis pendukung Soekarno, pada tahun 1959 tentara juga membentuk Pemuda Pancasila.

Pada tahun 1965, kekerasan sipil juga kembali digunakan dengan memobilisasi kelompok-kelompok paramiliter serta organisasi pemuda seperti Darul Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Pemuda Pancasila, Banser dan Pemuda Ansor, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk mengorganisasikan dukungan publik dalam rangka mendelegitimasi kekuasaan Soekarno dan menghancurkan komunisme. Periode ini merupakan momentum konsolidasi kapitalisme yang dilakukan dengan memobilisasi sentimen anti-komunis melalui penghancuran PKI dan pembunuhan massal para anggota dan simpatisan partai oleh kelompok sipil yang sekaligus semakin melegitimasi penggunaan kekerasan sipil yang lebih intensif.

Sejak awal Orde Baru tahun 1970-an, misalnya, Soeharto telah memobilisasi kelompok-kelompok kekerasan atau yang disebut juga gali (gabungan anak-anak liar) ke dalam berbagai organisasi mulai dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) hingga Pemuda Pancasila yang terafiliasi dengan Golkar untuk memenangkan pemilu.

Pada era Reformasi, kelompok-kelompok kekerasan kembali dimobilisasi oleh negara dalam wadah pamswakarsa untuk mempertahankan kekuasaan Habibie melawan gerakan pro-demokrasi. Namun, retorika yang digunakan dalam menggalang dukungan publik bukan lagi membela Pancasila, melainkan mempertahankan rezim Islami yang direpresentasikan oleh Habibie sebagai sosok pemimpin Muslim. Sejak saat itu, vilgilantisme Islam yang menggunakan retorika amar makruf nahi munkar menguat di Indonesia.

Kasus-kasus diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, represi terhadap kelompok oposisi dengan memobilisasi kembali sentimen anti-komunisme, serta berbagai represi terhadap gerakan-gerakan perlawanan dalam kasus pertambangan maupun perkebunan, merupakan manifestasi penggunaan kekerasan non-negara yang tetap hadir dalam praktik bernegara di Indonesia hingga kini.

Dengan demikian, hadirnya kekerasan sipil tidak berhubungan dengan karakteristik kekuasaan serta sistem pemerintahan di suatu negara. Artinya, mengajukan jalan keluar dengan memperkuat kapasitas negara dan penegakkan hukum bukan saja kurang berguna, tetapi juga semakin melegitimasi tetap hadirnya kekerasan sipil dalam kehidupan sosial-politik. Karena persoalannya terletak pada struktur ekonomi-politik yang memungkinkan penggunaan kekerasan non-negara sebagai bagian dari instrumen akumulasi kapital, konsolidasi kekuasaan dan legitimasi publik, maka yang selayaknya lebih menjadi perhatian adalah struktur ekonomi-politik tersebut.

Penulis : Tahang

Editor  : Edi

Publish : Yolan

  1. Revitalisasi PUEBI Dalam Jurnalistik

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Penggunaan bahasa Indonesia di media massa tidak sekadar harus komunikatif, tetapi harus juga mampu membangkitkan semangat kebangsaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Oleh karena itu, bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca yang telah diatur oleh Pemerintah.

Pemerintah terakhir menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Namun, belum seluruh media massa di Tanah Air mengikuti aturan tersebut, misalnya dalam penggunaan tanda hubung (-) sebagai kata tugas “dan”. Padahal, dalam PUEBI, pengganti kata “dan” adalah tanda garis miring (/). Tanda ini juga sebagai pengganti kata “atau” dan “setiap”.

Contoh pemakainnya adalah penulisan “Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno”. Penggunaan tanda hubung ini sudah merupakan salah kaprah. Bahkan, kalau menggunakan tanda garis miring (/), kemungkinan ada yang menganggap aneh.

Begitu pula, tanda hubung yang merangkai huruf dan angka, misalnya Diploma 1 (D-1), Diploma 2 (D-2), dan Strata 1 (S-1). Sering kali media menulisnya tanpa tanda hubung (D1, D2, dan S1).

Dalam PUEBI disebutkan bahwa tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan angka jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf. Misalnya, BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) dan P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan).

Begitu pula, penggunaan tanda koma (,). Ada yang yang beranggapan dalam kalimat tidak langsung tidak perlu konjungtor “bahwa” atau menggantinya dengan tanda koma. Padahal, di antara predikat dan objek tidak boleh ada koma, kecuali tanda koma yang mengapit keterangan yang berupa anak kalimat atau tanda koma yang memisahkan kutipan langsung dan predikat induk kalimat.

Vide contoh kalimat tidak langsung di bawah ini: ” Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan bahwa sesama politikus tidak perlu saling menjatuhkan ketika melakukan komunikasi politik.”

Contoh tanda koma tetap dipakai untuk mengapit keterangan tambahan.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan, ketika menjawab pertanyaan wartawan, bahwa Pemerintah perlu menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait dengan larangan politikus mengelola media dalam Undang-Undang tentang Penyiaran.

Dalam PUEBI disebutkan bahwa tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan naskah, atau bahan tertulis lain.

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. mengatakan, “Sesama politikus tidak perlu saling menjatuhkan ketika melakukan komunikasi politik.”

Tanda koma setelah konjungtor antarkalimat ada pula yang meniadakannya. Sesuai dengan kaidah tanda baca, tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan peng-hubung antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan itu, dan meskipun demikian.

Selain tanda koma, tanda titik (.) juga perlu diperhatikan oleh insan pers, terutama singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat. Misalnya, Toegiran S.H. dan Toegiran, S.H. Contoh pertama merupakan singkatan nama dari Toegiran Sastro Hardjo, sedangkan contoh kedua singkatan gelar Toegiran Sarjana Hukum.

Vide Kamus

Bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus, termasuk cara penulisannya.

Jurnalis sebaiknya mengacu pada kamus terbaru atau klik kbbi.kemdikbud.go.id. Laman ini dikelola oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kenapa terbaru? Karena terjadi perubahan dalam penulisan sublema. Misalnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring) kata dasar “sosialisasi” setelah mendapat awalan menjadi “menyosialisasikan”. Sebelumnya, dalam KBBI Edisi III penulisannya “mensosialisasikan”. Kata dasar lainnya yang penulisannya tidak sama, yakni “menyinergikan”. Semula, dalam KBBI Edisi III “mengnyinergikan”.

Namun, dalam kamus terbaru itu masih ada kata dasar sama ketika mendapat awalan “me-” penulisannya berbeda. Ada yang luluh ketika kata dasar yang huruf awalnya k, p, t, dan s bertemu dengan imbuhan “me-“. Ada pula yang tidak lebur. Misalnya, kata dasar “kaji”. Ketika bermakna membaca Alquran penulisannya “mengaji”. Namun, tidak luluh jika artinya mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan dan sebagainya), menguji, atau menelaah. Penulisan sublema ini “mengkaji”.

Seiring dengan perkembangan zaman, apabila masyarakat sudah terbiasa menggunakan sublema “mendaras” (membaca), kemungkinan penerapan kaidah k, p, t, s berlaku pada semua kata dasar yang mendapat prefiks “me-“.

Ungkapan lain yang penulisannya berubah, yakni “insyaallah”. Dalam KBBI Edisi IV, ungkapan yang digunakan untuk menyatakan harapan atau janji yang belum dipenuhi (maknanya jika Allah mengizinkan) penulisannya “insya Allah”.

Dalam KBBI Daring, terdapat pula lema “ngabuburit”. Sebelumnya, pengguna bahasa Indonesia sering kali menggunakan kata serapan dari bahasa Sunda itu. Bahkan, sekarang ini jika kita mencari melalui mesin pencari Google, lema tersebut tercatat 3.150.000. Begitu pula, istilah dari bahasa Inggris “fashion” menjadi “fesyen”. Kata bermakna “mode” ini digunakan hingga 8.700.000.

Namun, ada pula kata yang sering digunakan, misalnya, “milenial” (2.630.000 kata) dan “unregistrasi” (1.790.000) belum ada di dalam KBBI Daring. Khusus “unregistrasi”, sebaiknya penulisannya tetap menggunakan bahasa Inggris (unregistration) karena imbuhan “un-” belum diatur dalam PUEBI. Imbuhan yang diserap dari unsur asing, baru “-isme”, “-man”, “-wan”, dan “-wi”.

Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia dengan mematuhi kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca yang telah diatur oleh Pemerintah demi keutuhan NKRI, perlu mendapat perhatian dari anak bangsa sendiri.

Penulis : Gilang

Eitor : Tahang

Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2Q4tgaQ
via
via Blogger https://ift.tt/2Bb6rdA

via Blogger https://ift.tt/2zfxX8b

via Blogger https://ift.tt/2Ba0PAe

via Blogger https://ift.tt/2Q7g3yk

via Blogger https://ift.tt/2TdkTZv

via Blogger https://ift.tt/2Dqzefx

via Blogger https://ift.tt/2qR4ME4

via Blogger https://ift.tt/2K9dBSk

via Blogger https://ift.tt/2OOORzp

via Blogger https://ift.tt/2Ds4sD9

via Blogger https://ift.tt/2DrougV

via Blogger https://ift.tt/2Q1coSC

via Blogger https://ift.tt/2RWgaty

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.