Header Ads

Polisi Humanis Dalam Bungkus Komunikasi Efektif https://ift.tt/eA8V8J

Polisi Humanis Dalam Bungkus Komunikasi Efektif https://ift.tt/eA8V8J
Polisi Humanis Dalam Bungkus Komunikasi Efektif https://ift.tt/eA8V8J
Polisi Humanis Dalam Bungkus Komunikasi Efektif https://ift.tt/eA8V8J
Polisi Humanis Dalam Bungkus Komunikasi Efektif https://ift.tt/eA8V8J

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Sir Robert Marks, mantan Kepala Kepolisian Inggris yang tersohor di era 1970-an mengatakan, seorang polisi di era modern seperti saat ini tidak lagi bersenjatakan water canon, gas air mata atau peluru karet. Senjata polisi hari ini—seharusnya—adalah simpati masyarakat. Namun, simpati masyarakat itu akan sulit didapat jika antara polisi dan masyarakat tak terbangun komunikasi yang hangat dan saling mendukung satu sama lain.

Paradigma baru Ke­po­li­sian Republik Indonesia (Pol­ri) berorientasi pada pe­me­cahan-pemecahan masalah (Problem Solver Oriented) yang ada di tengah masyarakat. Agar tugas dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya, tak pelak dibutuhkan hubungan mesra (kedekatan fisik dan non-fisik) yang ber­kesi­nam­bungan antara polisi dan masyarakat.

Polisi Humanis, hal itu yang selalu didengung-de­ngung­­kan dan dipercepat per­tum­buhannya di dalam ins­titusi Polri. Tentu saja, sia­pa pun polisinya pasti ingin dianggap polisi yang hu­ma­nis. Dan siapapun masya­ra­katnya pasti ingin memi­liki polisi yang huma­nis; polisi yang mudah diajak bicara; mudah dimintai pertolongan; dan mudah memberikan solusi atas permasalahan.

Contoh umum, sebe­lum polisi menjawab kelu­han atas permasalahan ma­syarakat dengan lang­sung bergerak ke lapa­ngan, di­­harapkan polisi dapat ter­le­bih dulu menga­wali sikap de­­ngan menyimak keluhan, men­­dengar dengan hati dan be­rusaha mene­nang­kan kere­sa­han yang dira­sakan masyara­kat.

Menuliskannya memang semudah itu, tapi butuh usaha keras dalam tataran praktik di lapangan.

Menurut Jalaluddin Rakh­mat dalam bukunya, Psi­ko­logi Komunikasi, komu­nikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, memengaruhi sikap, mening­katkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya me­nim­bulkan suatu tindakan yang baik pula.

Dari pengertian tersebut dapat kita sadari, dalam men­cip­takan komunikasi yang efektif antara polisi dan ma­sya­rakat, diperlukan saling pengertian. Bukan saja polisi yang harus mengerti masya­rakat, tapi masyarakat harus pula memahami dan mengerti pekerjaan seorang polisi.

Contoh kecil mengenai sa­ling pengertian: yaitu saat ma­syarakat sering bersentuhan de­ngan polisi pe­nga­tur lalu lin­tas. Nah, saat se­orang pe­ngen­­­dara te­lah nyata-nya­­­ta me­lang­­­gar atu­ran ber­ken­­da­­ra­an se­­hing­ga di­kenai ti­lang, maka tidak seharusnya pengendara itu berupaya me­nyogok polisi agar ‘masalah selesai di tempat’. Sikap ter­sebut menurut penulis cer­minan sikat tidak saling pe­nger­tian. Baik polisi maupun masyarakat dalam hal ini sama-sama tidak pengertian atas kapasitas masing-masing.

Jalaluddin juga menandai komunikasi yang baik dengan komunikasi yang menim­bul­kan kesenangan dan dapat saling memengaruhi sikap. Dikaitkan dengan contoh di atas, ketika seorang pengen­dara telah menyadari kesalahan dan menerima dengan legowo sanksi tilang yang dijatuhkan, polisi dan pengendara akan merasa sama-sama lepas dari beban, sehingga yang kemu­dian akan muncul adalah perubahan sikap.

Ke depannya, pengendara yang melanggar akan lebih berhati-hati dalam menaati peraturan berkendaraan. Po­lisi yang menilang pun akan lepas dari beban perasaan tidak melakukan tugas de­ngan baik, karena beban ini bisa saja dirasakan saat menerima sogokan-so­go­kan, yang se­be­nar­nya tidak seberapa dan terkesan me­le­cehkan ins­titusi Polri sendiri.

Terakhir, Jalaluddin me­nandai komunikasi yang efek­tif dengan meningkatnya hu­bungan sosial yang baik, yang kemudian diakhiri dengan tindakan yang baik pula. Ambil contoh saat polisi me­nengahi perkelahian antar warga. Dalam situasi seperti ini, polisi dituntut bisa bersi­kap netral dan menjalankan fungsi mediasi yang tidak berat sebelah.

Hal-hal kecil namun sa­ngat memengaruhi jalannya proses pendamaian dapat di­tempuh seorang polisi, seper­ti mendatangi kedua belah pihak, bercerita dan menam­pung uneg-uneg yang diluap­kan. Dan saat waktunya dirasa pas, polisi dapat menang­gapinya dengan hal-hal yang di luar konteks, seperti ber­cerita kasus perkelahian antar warga di tempat lain yang ti­dak menyisakan apa-apa se­la­in kerugian, atau mence­ri­takan sulitnya memper­satu­kan nu­san­tara, dan lain seba­gai­nya.

Tentu saja, cara-cara terse­but digunakan di waktu dan tempat khusus yang membuat masyarakat merasakan polisi adalah teman, bukan penga­man, seperti di pos ronda, ke­dai kopi dan lain sebagai­nya.

Jika hal-hal kecil seperti itu dilakukan, menurut Jala­lud­din, tentu hubungan sosial yang baik akan semakin me­ningkat, dan berujung kepada tindakan penyelesaian ma­salah yang ada dengan cepat, tanpa harus ada pihak yang merasa dirugikan.

Dengan adanya inte­raksi yang terus me­nerus tersebut, polisi ber­sama-sama masyarakat akan semakin mudah dalam men­cari jalan keluar atau me­nyelesaikan masalah sosial, terutama masalah keamanan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya interaksi yang terus menerus tersebut polisi akan bisa se­nantiasa berupaya untuk me­ngurangi rasa ketakutan ma­syarakat terhadap akan adanya gangguan kriminalitas.

Stephen Covey, penulis asal Amerika Serikat mene­gaskan, unsur yang paling penting dalam komunikasi bukan sekadar pada apa yang kita tulis dan kita katakan, tetapi lebih pada karakter kita dan bagaimana kita me­nyam­paikan pesan kepada pe­ne­rima pesan (tindakan).

Jika kata atau tindakan dibangun dari teknik hu­bungan yang dangkal (etika kepribadian), maka orang lain akan melihat atau mem­baca sikap kita. Jadi syarat utama dalam komunikasi efektif adalah karakter yang kokoh, yang dibangun dari pondasi integritas pribadi yang kuat.

Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang polisi untuk memiliki kepribadian yang kuat di tengah masya­rakat, tentu saja kepribadian yang memberikan rasa aman dan nyaman. Sehingga, ma­sya­rakat akan membaca si­kap tersebut sebagai sikap yang berpihak, sikap yang humanis dan sikap yang ma­nis. Goal­nya, polisi akan se­ma­kin di­cin­tai ma­sya­ra­kat. ( Andrianto A).

Penulis : Yolan

Editor : Edi

Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2LNIH52
via
via Blogger https://ift.tt/2OroZL2

via Blogger https://ift.tt/2vi6pwb

via Blogger https://ift.tt/2LMi2G1

via Blogger https://ift.tt/2LCDiPe

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.