Header Ads

Bolehkah Polisi Mencalonkan Diri Sebagai Ketua Ormas? https://ift.tt/eA8V8J

Bolehkah Polisi Mencalonkan Diri Sebagai Ketua Ormas? https://ift.tt/eA8V8J
Bolehkah Polisi Mencalonkan Diri Sebagai Ketua Ormas? https://ift.tt/eA8V8J
Bolehkah Polisi Mencalonkan Diri Sebagai Ketua Ormas? https://ift.tt/eA8V8J

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Bisakah anggota polisi bermain politik praktis untuk mencalonkan diri agar dipilih dalam pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan yang di kelurahan, yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)? Bisakah polisi ikut dipilih dalam pemilihan langsung ketua organisasi kemasyarakatan? Apa dasarnya kalau polisi tidak dibolehkan atau bagaimana syarat seorang polisi bisa ikut? Terima kasih.

Jawaban :

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”), anggota Kepolisian tidak boleh melakukan kegiatan politik praktis. Larangan ini sebelumnya juga telah ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang menyebutkan:

(1)  Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

(2)  Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.

(3)  Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.

Pada praktiknya, Perwira tinggi Polri diperbolehkan menjadi pembina organisasi kemasyarakatan (ormas), asalkan mendapat izin dari pimpinan. Akan tetapi, tidak boleh menjadi anggota ormas, karena jabatan pembina itu di luar anggota, dan lebih kepada mengarahkan serta menasihati. Selain itu, ormas yang bersangkutan juga tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan memiliki sangkut paut dengan tugas Kepolisian.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sebelumnya, berdasarkan konteks pertanyaan Anda, kami asumsikan “politik praktis” yang dimaksud di sini yaitu “partisipasi politik” berupa tindakan anggota Kepolisian untuk turut serta dalam pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan (“ormas”).

Organisasi Kemasyarakatan

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”).

Organisasi Kemasyarakatan (“Ormas”) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.[1]

Ormas berfungsi sebagai sarana:[2]

  1. penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan/atau tujuan organisasi;
  2. pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi;
  3. penyalur aspirasi masyarakat;
  4. pemberdayaan masyarakat;
  5. pemenuhan pelayanan sosial;
  6. partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/atau
  7. pemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ormas memiliki bidang kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasar (“AD”)/Anggaran Rumah Tangga (“ART”) masing-masing. Bidang kegiatan Ormas sesuai dengan sifat, tujuan, dan fungsi Ormas.[3]

Penjelasan lebih lanjut tentang Ormas dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Ormas Melakukan Sweeping di Tempat-tempat Umum? dan Bolehkah Ormas Ikut Kegiatan Politik?

Larangan Bagi Anggota Kepolisian

Dalam melaksanakan tugas memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, ada beberapa larangan bagi anggota Kepolisian.

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) telah mengatur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Kepolisian RI”) tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis:

(1)  Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

(2)  Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.

(3)  Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Hal ini kemudian dijabarkan lagi dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”) yang mengatur beberapa larangan bagi anggota KepolisianRI dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yaitu:

  1. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. melakukan kegiatan politik praktis;
  3. mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
  4. bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara;
  5. bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
  6. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
  7. bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
  8. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
  9. menjadi perantara/makelar perkara;
  10. menelantarkan keluarga.

Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan aturan di atas, tegas disebutkan bahwa anggota Kepolisian tidak boleh melakukan kegiatan politik praktis. Jika melanggar, maka anggota Kepolisian RI tersebut dapat dikenakan hukuman disiplin. Namun, merujuk pada PP 2/2003 juga tidak ada aturan secara eksplisit yang melarang anggota Kepolisian RI ikut terlibat dalam kegiatan pada ormas maupun turut serta dalam pemilihan ketua ormas.

Kegiatan Anggota Kepolisian di Luar Instansi Kepolisian

Meski dalam PP 2/2003 tidak melarang tegas anggota Kepolisian RI ikut terlibat dalam kegiatan pada ormas maupun turut serta dalam pemilihan ketua ormas, namun jabatan ketua ormas di sini boleh jadi dikatakan sebagai jabatan di luar instansi Kepolisian RI.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, anggota Kepolisian RI dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.[4] Yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.[5]

Jadi, berdasarkan ketentuan hukum tersebut, seorang anggota kepolisian hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian seperti menjadi ketua ormas setelah dirinya mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Atau jika ditafsirkan secara a contrario ketentuan tersebut berarti, seorang anggota kepolisian yang masih aktif dilarang untuk menduduki jabatan di luar kepolisian. Penjelasan lebih lanjut silakan Anda simakSyarat Menduduki Jabatan di Luar Kepolisian Bagi Anggota Polri.

Namun pada praktiknya, Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar dalam artikelJenderal Polisi Boleh Jadi Pembina Ormas seperti yang diinformasikan dalam laman mediaMetrotvnews.com, menjelaskan bahwa Perwira tinggi Polri diperbolehkan menjadipembina organisasi kemasyarakatan (ormas), asalkan mendapat izin dari pimpinan. Akan tetapi, tidak boleh menjadi anggota ormas, karena pembina itu di luar anggota, dan lebih kepada mengarahkan serta menasihati.

Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ormas yang bersangkutan juga tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian, seperti ormas yang kegiatannya membina masyarakat yang juga termasuk dalam lingkup tugas Kepolisian RI.

Tindakan Disiplin dan/atau Hukuman Disiplin

Anggota Kepolisian RI yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin.[6]

Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik.[7] Tindakan disiplin yang berupa teguran dan/atau tindakan fisik tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum (Ankum) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.[8] Tindakan disiplin dapat dijatuhkan secara kumulatif.[9]

Sementara itu, hukuman disiplin berupa:[10]

  1. teguran tertulis;
  2. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;
  3. penundaan kenaikan gaji berkala;
  4. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;
  5. mutasi yang bersifat demosi;
  6. pembebasan dari jabatan;
  7. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 hari.

Hukuman disiplin ini dijatuhkan secara alternatif atau kumulatif.[11]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Penulis : Rexi
Editor   : Tahang
Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2BHT30Q
via
via Blogger https://ift.tt/2DS3FeN

via Blogger https://ift.tt/2zBrTXP

via Blogger https://ift.tt/2QxYyqO

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.