Header Ads

Merosotnya Nilai Moral di Lingkungan Sosial https://ift.tt/2SGijLk

Merosotnya Nilai Moral di Lingkungan Sosial https://ift.tt/2SGijLk

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Sadar atau tidak, dewasa ini anak-anak kian kritis dan berani mengungkapkan pendapat. Penyebabnya banyak, salah satunya pola didik yang tidak lagi searah melainkan mengedepankan diskusi dua sisi agar anak-anak berani bersuara. Tidak ada yang salah dengan pola pendidikan ini, namun sayangnya banyak orangtua yang belum menyeimbangkannya dengan pendidikan moral.

Tudingan ini bukan tanpa sebab. Salah satunya adalah video yang beberapa hari ini viral, yaitu pelecehan pada Farhan, mahasiswa di Universitas Gunadarma Depok. Terekam pada video tersebut bahwa sekelompok mahasiswa mendorong dan melakukan pelecehan pada Farhan. Reaksi para netizen pun tidak kalah memojokkan—meski membela korban—dengan menyatakan bahwa Farhan adalah anak berkebutuhan khusus. Hal ini justru semakin menjerumuskan Farhan dan keluarga pada kondisi psikologis yang kian terpuruk karena dilansir dari Detik.com, orangtua Farhan menyatakan bahwa anaknya tidak berkebutuhan khusus. Hal tersebut disampaikan oleh Irwan Bastian selaku Wakil Rektor III Gunadarma.

Bukan hanya di Indonesia, perilaku tanpa moral juga marak di banyak negara. Bahkan menurut berita yang dilansir Hufftingtonpost.com, hanya 15% warga Amerika Serikat yang menyatakan bahwa masyarakat negara tersebut memiliki moral yang cukup. Penurunan moral ini bukan tanpa sebab. Oleh karena itu kami mencoba menilik penyebab merosotnya nilai moral di lingkungan sosial.

Kritis Tanpa Analisis

Pendidikan dua arah yang diterapkan baik di lingkungan rumah dan sosial tidak dibarengi dengan pengajaran akan analisis mendalam. Misalnya saja kesimpulan netizen terhadap Farhan yang dinilai anak berkebutuhan khusus—padahal hal tersebut disanggah kedua orangtuanya. Ungkapan tersebut muncul hanya berdasarkan video yang tidak memiliki kualitas gambar cukup baik. Semakin tersebar karena beberapa pihak yang harusnya menyajikan data valid malah ikut-ikutan komentar netizen yang asal bersuara di laman media sosial.

Hilangnya Tanggungan Risiko

Pola pendidikan orangtua di masa terdahulu dinilai lebih keras karena tidak memanjakan anak. Bukan berarti membenarkan hukuman fisik, namun sebagai orangtua milenial, bukan berarti hukuman atau tanggungan risiko lepas begitu saja. Anak harus tetap memahami bahwa pasti ada konsekuensi dari setiap keputusan yang diambilnya—bahkan termasuk berkomentar di dunia maya.

Dunia Digital

Anak seringkali dijejali gadget ketimbang beraktivitas nyata. Hal ini melunturkan berbagai nilai, salah satunya adalah dalam bersosialisasi. Nilai-nilai sosial justru tidak mereka dapat semenjak dini sehingga pemahaman akan ‘hukum sebab dan akibat’ tidak mereka alami—hanya sekadar teori. Hal ini membuat anak tumbuh dengan jiwa individualis, ego yang tinggi, enggan bertoleransi, dan ingin menang sendiri.

Sopan Santun yang Luntur

Budaya kritis yang sudah ditanamkan sejak dini tidak lagi diimbangi dengan kesopanan pada lawan bicara. Anak-anak yang tumbuh dewasa sebelum waktunya membuat mereka memiliki gaya bicara sama, baik pada orang yang lebih tua maupun teman sebaya. Padahal di era kita, bahasa sebaya dan orang yang lebih tua tentu harus berbeda. Bukan berarti tidak bebas berbicara, namun bersuara harus sesuai dengan etika yang ada.

Takut Menghadapi Masalah

Banyak sekali kejadian guru yang berhadapan dengan hukum lantaran masalah sepele, mulai dari mencubit hingga hanya sekadar memotong rambut murit saat ‘razia rambut’. Saat kita duduk di bangku sekolah, hal ini dipandang lumrah dan hukuman tersebut merupakan risiko yang memang perlu ditanggung. Berbeda dengan masa sekarang, banyak anak yang enggan menghadapi masalah mereka di sekolah dan langsung mengadu pada orangtua. Parahnya, orangtua pun membela anak tanpa ikut mendukung pendidikan yang sedang diajarkan para guru.

Hilangnya Kepercayaan Pada Tenaga Pendidik

Dulu, guru dan orangtua seolah ‘berafiliasi’ untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak. Kini, guru sepertinya hanya dipandang sebagai ‘penjaga anak’, bukan lagi sosok yang membantu orangtua dalam mendidik. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang guru Bahasa Inggris—yang tidak ingin disebutkan namanya—di salah satu sekolah swasta di Cibubur. Menurutnya, orangtua tidak memberikan kepercayaan pada guru untuk memberikan pendidikan. Guru kerap dianggap sebagai penjaga anak, bukan lagi tenaga pendidik yang sebenarnya memiliki visi serupa dengan orangtua—mengajar, membentuk karakter, hingga nilai moral.

Sejatinya pendidikan memang menjadi kunci atas kesuksesan sebuah generasi. Kritis boleh, namun ingat bahwa kondisi psikologis setiap usia berbeda. Jika tidak membiasakan mereka, para generasi penerus, untuk bertanggung jawab atas perilaku dan tutur kata, maka bagaimana moral akan terbentuk? -*rlp

 

 

Penulis          : Yolan

Editor            : Tahang

Publisher      : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2EWTg3Q
via
via Blogger https://ift.tt/2yM81kj

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.