Header Ads

Mengukur Kinerja Polisi Dalam Rangka Pelayanan Prima (1) https://ift.tt/eA8V8J

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Bagaimana kita tahu kapan kepolisian melaksanakan pekerjaan dengan memuaskan? Pertanyaan inilah yang dicoba dijawab oleh David Couper dalam laporannya tahun 1983 yang berjudul “Bagaimana Menilai Satuan Kepolisian Lokal Anda,” yang diterbitkan oleh Police Executive Research Forum. Pertanyaan ini berpusat pada politik polisi, yang sebagian besar menjad tanggung jawab sang kepala polisi. Kalau pertanyaan ini tidak terjawab demi kepuasan public dan wakil mereka yang ditunjuk dan terpilih, maka polisi cenderung tidak akan mendapatkan sumber daya yang mereka katakan dibutuhkan mereka. Masyarakat ingin kepastian bahwa uang yang diberikan kepada polisi memang menghasilkan keselamatan yang sangat mereka inginkan. Walaupun memberikan informasi tentang kinerja kepolisian adalah tugas penting sang kepala polisi, kebanyakan evaluasi pemolisian tidak menilai efektifitas keseluruhan lembaga itu. Sebaliknya evaluasi itu berfokus pada program dan kegiatan tertentu, seperti gangguan pasar obat-obatan, patroli jalan kaki dan respon gawat darurat. Para pakar dan penilai professional lainnya malu terhadap penilaian global, mungkin karena penilaian global itu kelihatannya terlalu luas dan sulit. Penilaian kinerja sebuah satuan kepolisian secara umum lebih dari sekedar masalah teknis pemilihan criteria dan metodologi ukuran yang tepat; hal ini melibatkan keputusan controversial tentang apa yang harus dilakukan polisi dan bagaimana mereka harus melakukannya.

Tanpa mengabaikan kurangnya perhatian terhadap penilaian kinerja umum satuan kepolisian, saya percaya bahwa keefektifan lembaga kepolisian akan semakin menjadi sebuah masalah. Tentu saja tekanan atas sebuah penilaian kelembagaan tentang pemolisian semakin berat sehingga pertanyaannya, menurut pendapat saya, bukanlah apakah polisi akan melibatkan diri dalam penilaian kinerja, tetapi ketika saya mengemukakan hal ini karena empat alasan:

Masyarakat umum sepertinya percaya bahwa kejahatan meningkat dan bahwa hanya sedikit yang bisa dilakukan polisi atau CJS untuk menangani hal ini. Pengumpulan pendapat terakhir menunjukkan bahwa kejahatan adalah masalah nomor satu orang Amerika (New York Times, Februari 23, 1994). Masyarakat tidak hanya takut, tetapi kepercayaan mereka terhadap penegakan hokum juga telah merosot (Reiner 1992; Shearing 1993; Grabosky 1992). Indikasi lain tentang penurunan keyakinan terhadap polisi adalah bahwa jumlah personil keamanan pribadi sangat meningkat. Polisi sector public kehilangan “pangsa pasar.” Masyarakat juga semakin banyak melakukan hal-hal untuk melindungi diri mereka, seperti memperkuat pertahanan rumah mereka dan membentuk pengawas blok dan patrol warga. Walaupun polisi bertekat bahwa mereka akan mengendalikan kejahatan jika mereka diberikan sumber daya yang lebih banyak, namun masyarakat tidak menerima janji ini semudah seperti sebelumnya. Opini masyarakat tentang polisi kelihatannya hamper kontradiktif. Masyarakat menyuarakan dukungan yang kuat atas penambahan jumlah polisi, tetapi mereka melakukan tindakan yang seolah-olah mereka tidak lagi menganggap bahwa polisi bisa melakukannya pekerjaan mereka secara memadai.

Pemerintah pada semua level berada dalam tekanan untuk melakukan penghematan. “Lakukan hal yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit” telah menjadi kata-kata popular pada semua level pemerintahan Amerika. Akibatnya pemerintah melakukan audit dan prosedur pengawasan yang baru untuk memastikan bahwa pemerintah menggunakan anggaran secara efesien dan efektif. Salah satu caranya dalah meminta polisi untuk mengembangkan “indicator kinerja” untuk digunakan dalam menilai kegiatan polisi.

Para pimpinan polisi semakin yakin bahwa manajemen yang baik melibatkan evaluasi program. Dua decade yang lalu, evaluasi atas pekerjaan polisi masih sangat jarang. Sekarang hal ini sudah umum, seringkali dilakukan oleh pakar, konsultan dan ahli di luar kepolisian. Pelatihan manajemen bagi petugas senior, yang merupakan perkembangan yang relative baru, hampir selalu menekankan pentingnya penilaian kinerja. Apakah hal itu “TQM” atau “MBO,” filosofis managerial saat ini menekankan pengukuran kinerja. Bantuan atau hibah untuk proyek atau program yang diperebutkan kesatuan biasanya membutuhkan beberapa evaluasi baik tentang proses implementasi dan hasil-hasilnya. Akhirnya kesatuan polisi memperluas penelitian dan unit perencanaan mereka, memindahkannya dari sang kepala polisi ke ruangan kantor dimana perencanaan strategis dan evaluasi program bisa dilakukan. Tentu saja, walaupun masayarakat sejauh ini tidak menyadarinya, polisi telah menjadi salah satu birokrasi pemerintahan yang paling terbuka. Polisi berada di urutan kedua setelah sekolah negeri, saya pikir. Polisi Amerika, khususnya, harus diberikan pujian yang lebih banyak atas suasana keterbukaan ini.

Kemampuan teknis polisi untuk mengumpulkan, mengelola, dan menganalisa informasi operasi telah sangat meningkat dalam decade terakhir ini. Hingga saat-saat sebelum sekarang ini, para pimpinan polisi tidak segera mengetahui berapa banyak petugas yang sedang bertugas, dimana mereka ditugaskan, atau apa yang mereka sedang lakukan. Sekarang pimpinan polisi memiliki informasi terkini tentang panggilan yang membutuhkan pelayanan dan kejadian kejahatan, ketersediaan personil, pengerahan sumber daya manusia, kegiatan beban kerja, dan tindakan yang dilakukan. Dengan menggunakan sensus data, banyak kesatuan yang sekarang ini bisa mencocokkan kebutuhan patroli yang dibutuhkan, polisi sector atau keseluruhan jurisdiksi dengan sumber daya yang tersedia bagi mereka.

Masalahnya adalah bahwa polisi sedang ditekan, baik dengan atau tanpa mencapai apa yang diinginkan masyarakat untuk menunjukkan bahwa mereka melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Karena kapasitas teknis dan kemampuan intelektual telah diciptakan untuk menunjukkan hal itu, maka pengukuran kinerja bukan masalah lagi. Jadi pertanyaan yang menekan polisi saat ini adalah: Bagaimana polisi harus menunjukkan bahwa mereka memang efektif?

Ukuran efektifitas polisi yang paling terkenal adalah angka kejahatan. Masyarakat ingin tahu apakah resiko menjadi korban kejahatan meningkat atau menurun. Polisi berjanji untuk “melayani dan melindungi” dan hal ini berarti perlindungan dari kejahatan. Angka kejahatan adalah pusat dari masalah, baik bagi polisi ataupun masyarakat. Di AS, angka kejahatan ditentukan oleh informasi yang diberikan satuan polisi lokal kepada FBI sebagai bagian dari system Uniform Crime Reporting (UCR). Informasi dikumpulkan secara sistematis tentang delapan jenis kejahatan serius, yang dikenal sebagai Part I atau kejahatan Index: pembunuhan dan pembunuhan tidak disengaja, perkosaan, perampokan, penganiyaan berat, pencurian dengan pemberatan, pencurian, pencurian kendaraan bermotor, dan pembakaran. Negara demokratis maju lainnya memiliki system pelaporang kejahatan nasional yang sama. Karena partisipasi di dalam system UCR telah menjadi universal di AS, maka masyarakat mendapatkan pembaharuan setiap 3 bulan sekali melalui media masa tentang perubahan di daerah serta angka kejahatan nasional, yang dibagi-bagi dalam kategori kejahatan. Laporan UCR tidak diragukan lagi merupakan ukuran kinerja polisi yang paling terlihat.

Sayangnya angka kejahatan UCR tidak sebagus fungsi mereka sebagai indicator efektifitas polisi. Walaupun angka ini valid dan umum, yang menggambarkan apa yang ingin diketahui masyarakat tentang polisi di seluruh negeri, angka ini memiliki 2 keterbatasan:

Angka kejahatan UCR tidak bisa diandalkan (Sherman 1982). Akurasi angka ini tergantung pada apa yang ingin dilaporkan masyarakat kepada polisi dan pada kejujuran serta perhatian dan kerajinan yang sangat luar biasa dari polisi untuk mencatat apa yang dilaporkan.

Untuk menghindari masalah ini, pemerintah AS mulai melakukan survey terhadap korban kejahatan pada tahun 1973, dalam sebuah upaya untuk mengetahui kejahatan apa yang terjadi terhadap warga tanpa adanya mediasi laporan polisi. Dalam survey ini, sejumlah besar sampel (42.000 rumah tangga) ditanya setiap 3 bulan apakah anggota keluarga mereka telah menjadi korban kejahatan, tanpa melihat apakah mereka telah melaporkan kejahatan itu kepada polisi atau tidak (Sourcebook of Criminal Justice Statistics 1992). Gambaran kejahatan yang timbul dari Survey Kejahatan Nasional (NCS) sangat berbeda dari apa yang diperoleh melalui metodologi UCR. Misalnya, angka-angka UCR menunjukkan bahwa kejahatan dengan kekerasan (pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penganiayaan berat) telah meningkat cepat sejak tahun 1973. Namun angka-angka NCS menunjukkan bahwa kejahatan dengan kekerasan terhadap manusia  (tidak termasuk pembunuhan) memuncak pada tahun 1981 (Sourcebook 1992, t. 3.4) dan bahwa angka viktimisasi untuk kejahatan dengan kekerasan menurun sebesar 13,2 persen antara tahun 1973 sampai dengan tahun 1989.

Jadi masalah yang dihadapi organisasi kepolisian adalah bahwa metodologi yang berbeda untuk penilaian kejadian  kejahatan mengarah kepada kesimpulan yang berbeda tentang efektifitas polisi. Ukuran-ukuran UCR akan terus mendominasi evaluasi kinerja polisi lokal karena ukuran ini lebih murah daripada survey viktimisasi. System ini sekarang bersifat universal, dan biaya yang dikeluarkannya kecil. UCR telah sangat baik sehingga sebuah organisasi polisi akan harus menjelaskan mengapa UCR tidak membagi data kepada organisasi polisi. Namun informasi NCS tidak dibangun dari atas ke bawah (bottom up), yang mengambil keuntungan dari apa yang telah dilakukan oleh pihak daerah. Informasi itu adalah survey sampel nasional yang tidak bisa dipisahkan berdasarkan jurisdiksi tertentu. Untuk memperoleh data viktimisasi daerah, lokalitas akan harus melaksanakan survey mereka sendiri. Biaya melakukan hal ini sangat besar, dan survey itu sulit dijustifikasi ketika superioritas survey viktimisasi di atas laporan polisi tentang kejahatan bisa diperdebatkan.

Semua data tentang kejadian kejahatan, apakah diperoleh dari catatan polisi atau survey terhadap korban, memiliki cacat fundamental sebagai ukuran kinerja polisi. Kejahatan bukanlah sesuatu yang benar-benar dikendalikan polisi. Memang sedih untuk dikatakan, kejahatan tidak ditentukan oleh apa yang dilakukan polisi, atau berapa banyak polisi. Lagi-lagi kriminolog telah menunjukkan bahwa predictor kejahatan yang terbaik—di antara satuan polisi, kota, negara bagian, dan negara, sebagai kebalikan dari individu—adalah factor ekonomi dan social, yang dikenal dengan nama pendapatan, pengangguran, pendidikan, keberadaan kaum minoritas, rumahtangga yang diurus oleh wanita sendirian, ukuran rumah tangga, dan kepemilikan rumah (Walker, 1989). Angka-angka kejahatan di kota-kota besar dapat diprediksi secara akurat 80 sampai 90 persen dari waktu itu ketika faktor-faktor ini diperhitungkan. Prinsipnya tampaknya bahwa semakin besar unit analisis, maka semakin besar varians yang yang diprediksi. Temuan ini mungkin akan mengejutkan publik, tetapi tidak mengejutkan polisi. Berdasarkan pengalaman mereka sendiri, polisi sering sedih melihat bahwa penegakan hukum adalah sedikit lebih kecil dari Band-Aid pada kanker kanker kejahatan.

Jadi, dari sudut pandang politik ketergantungan pada angka kejahatan yang dilaporkan sebagai ukuran kinerja polisi tampaknya akan berisiko bagi polisi. Hal ini membuat polisi bertanggung jawab atas keadaan yang mereka tidak dapat mengendalikannya. Polisi tidak layak dipuji ketika angka kejahatan turun, atau disalahkan ketika angka kejahatan naik. Namun, sampai saat ini risiko politik telah menjadi sedikit. Mengingat pilihan antara angka kejahatan yang dilaporkan yang meningkat dan angka viktimisasi yang menurun, pimpinan polisi lebih suka angka kejahatan yang dilaporkan yang meningkat. Penalaran mereka tampaknya adalah bahwa jika kejahatan berada di luar kendali mereka, maka lebih baik untuk memiliki angka kejahatan yang meningkat daripada angka kejahatan yang menurun karena mereka bisa berargumentasi bahwa mereka membutuhkan lebih banyak sumber daya. Kepala polisi takut kepuasan publik yang mungkin timbul dari angka kejahatan yang menurun lebih daripada kecaman public akibat angka kejahatan yang meningkat. Sejauh ini, angka kejahatan yang meningkat belum dianggap sebagai tanda-tanda kinerja polisi yang tidak memadai; sebaliknya angka kejahatan yang meningkat dianggap sebagai indikasi jumlah polisi yang tidak memadai.

Penulis : Gilang

Editor : Tahang

Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2qM4cHu
via

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.