Mengupas Manajemen Strategik Komunikasi Publik Di Era Digital https://ift.tt/eA8V8J
Tribratanews.kepri.polri.go.id – Perubahan pola komunikasi yang terjadi di era digitalisasi dewasa ini telah menjadikan arus informasi mengalir dengan deras dan cepat, pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, pemanfaatan teknologi informasi komunikasi dan internet semakin mempercepat penetrasi pesan ke dalam berbagai elemen masyarakat, wajar jika Thomas L. Friedman mengatakan jika the world is flat.
Perubahan pola komunikasi diera digital, dengan semakin masifnya penetrasi internet, diproyeksikan akan semakin mempercepat transformasi ke “pola komunikasi model baru”. Premis ini bukan tanpa alasan yang mendasar, merujuk hasil survey 2016 oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet) terkait pengguna internet di Indonesia, menunjukkan telah terjadi lonjakan yang sangat pesat, yakni 132,7 juta orang (51,5%) dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta orang.
Lonjakan pesat pengguna internet di Indonesia dalam 2 tahun terakhir (2014-2016) mengalami kenaikan sebesar 44,6 juta, dimana pada tahun 2014 pengguna internet di Indonesia baru sebesar 88,1 juta user, dan diprediksi akan terus meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang.
Bila dielaborasilebih mendalam, populasi tertinggi pengguna internet indonesia itu mayoritas ada di pulau Jawa dengan persentase 65 % (86,3 Juta orang) dari 256,2 juta orang, pengguna terbanyak ada pada usia 35-44 tahun yakni sebesar 29,2% sedangkan pengguna paling sedikit adalah rentang usia 55 tahu ke atas yang hanya berkisar 10%.
Dari data statistik tersebut di atas, bila dikaitkan dengan tahapan perkembangan teknologi komunikasi, yang digagas oleh Everett M Rogers, Indonesia sejatinya telah memasuki fase interactive communication era sebagai tahapan lebih lanjut dari pengembangan era telekomunikasi. Era ini ditandai dengan penggunaan internet sebagai media baru (new media).
Transformasi penggunaan internet sebagai media baru (new media)telah mengubah sifat dan ruang lingkup media komunikasi , transformasi ini menegaskan bahwa second media age, dengan pola simetris dan interaktif, telah mulai menggeser dominasi media broadcast seperti surat kabar, radio dan televisi, pemberitaan yang viral dan menjadi tranding topic dalam media sosial bahkan acapkali menjadi pemberitaan utama pada media mainstream.
Pergeseran pola komunikasi di era digital telah menjadikan citizen journalism sebagai suatu fenomena baru, komunikasi sekarang bukan lagi two-step communication model, tetapi multi-step communication model, yang memposisikan individu menjadi kekuatan baru yang dapat mempengaruhi opini publik.
Hadirnya era digital dan terjadinya pergeseran pola komunikasi, dengan trend meningkatnya penggunaan internet, serta merujuk pada distribusi sebaran usia penggunanya, seyogyanya menjadi momentum bagi praktisi humas (hubungan masyarakat) atau PR (public relations) dan pengelola informasi publik di K/L, BUMN dan organisasi pemerintah lainnya, untuk mampu berubah dan beradaptasi dengan mereposisi manajemen strategik dalam komunikasi publik.
Reposisi erlu dilakukan dengan menata ulang rencana komunikasi strategis (strategic communication plan), sebagai peta jalan perubahan dengan pola kekinian, melakukan market intelejen sehingga strategi komunikasi publik disesuaikan dengan penerima pesan.
Eksistensi praktisi humas, PR atau pengelola informasi publik pada organisasi pemerintah semakin menjadi strategis ditengah era persaingan dan digitalisasi serta disruption era yang membawa konsekuensi berubahnya “lanskap media”, untuk itu diperlukan SDM yang berorientasi inovasi dan kreatifitas (think across), berorientasi pada hasil dibandingkan prosedural administratif dalam strategi komunikasi publiknya.
Strategisnya positioning SDM sebagai praktisi humas, PR atau pengelola informasi publik dipertegas dalam riset, Sallot dan Johnson (2006), yang melakukan survei terhadap pers di Amerika Serikat (AS), yang menemukan bahwa 44 persen media berita di AS dipengaruhi oleh praktisi humas, yang menjadikan output pekerjaan praktisi humas sebagai agenda setting. Bahkan, surat kabar bergengsi seperti the Washington Post dan New York Times mendapatkan lebih dari setengah konten mereka berasal dari siaran dan konferensi pers.
Oleh karena itu, praktisi humas harus harus mampu mentransformasi mindset dari bekerja secara linier dan business as usual menjadi visioner (think ahead) dan kreatif serta inovatif, berpikir holistik dan lintas sektor (think across), memiliki kompetensi layaknya seorang chief editor atau newsroom head, utamanya dalam meningkatkan kemampuan menghasilkan konten komunikasi publik yang menarik, lebih padat, berisi, inovatif dan kreatif terkait pers rilis, foto, dan video,serta memanfaatkan media sosial dalam mengakselerasi diseminasinya.
Strategi komunikasi publik yang dikembangkan harus mampu melayani kebutuhan informasi publik(service delivery culture), membentuk citra positif institusi, memberikan updatemengenai apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan, apa manfaatnya bagi masyarakat, merangkul umpan balik dari publik,praktisi komunikasi publik di K/L harus dapat berperan sebagai “mata dan telinga”.
Manajemen strategik sebagai peta jalan perubahan dimaksud seyogyanya diprioritaskan dengan peningkatan core competence, sinergitas dan value creation, yang mendorong terwujudnya perbaikan tata kelola public relations, pers dan media relations serta perbaikan manajemen pengelolaan data dan informasi publik.
Coorporate level strategy harus dapat diterjemahkan secara kongkrit sampai dengan tingkatan fungsional level strategy, melalui perencanaan, implementasi dan evaluasi sebagai suatu kerangka kerja terintegratif, hal ini diperlukan dalam memberikan arah rencana strategis organisasi sehingga adaktif terhadap perubahan-perubahan lingkungan strategis eksternal yang terjadi dengan cepat.
Manajemen strategik sebagai pilihan cara pengelolaan komunikasi publikdengan menjadikan program dan kegiatan prioritas komunikasi publik yang berbasis media sosial, harus dirumuskan dan diimplementasikan dengan menetapkan sasaran-sasaran strategis yang terukur (measurable objective), sebagai alat kendali pimpinan terhadap keberhasilan implementasi program komunikasi publik.
Perubahan budaya kerja (coorporate culture) dari yang berorientasi output menjadi berorientasi outcome dan benefit perlu terus ditumbuhkembangkan dalam organisasi sehingga praktisi humas yang ada tidak hanya berkutat pada “kerja pola-pola lama” yang bersifat teknis semata, seperti menyiapkan rilis, menyiapkan konferensi pers, peliputan dan dokumentasi.
Inpres no 9 tahun 2015 dan Pengelolaan Komunikasi Publik
Kita patut bersyukur komitmen yang tinggi dari Presiden RI dalam memastikan seluruh K/L bersinergi menunjang keberhasilan Kabinet Kerja, menyerap aspirasi dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan dan program pemerintah, telah dilegalitas formalkan dengan terbitnya Inpres No.9 Tahun 2015 yang mengatur tentang pengelolaan komunikasi publik.
Presiden RI telah menginstruksikan kepada para pejabat di K/L untu mengambil langlah-langkah yang diperlukan sesuai tugas fungsi dan kewenangannya maing-masing untuk mendukung pelaksanaan komunikasi publik, antara lain dengan menyebarluaskan kepada publik narasi tunggal dan data dukung terkait kebijakan dan program pemerintah dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi kepada masyarakat secara tepat, cepat, obyektif, berkualitas baik berwawasan nasional dan mudah dimengerti.
Untuk itu praktisi komunikasi publik di K/L pemerintah harus dapat mengubah mindset bekerja dari pelayanan teknis semata menjadi praktisi komunikasi publik yang visioner (think ahead) dan bekerja dalam ritme inovatif dan kreatif, berpikir holistik dan lintas sektor(think across) sehingga terjadi transformasimenuju kinerja pemerintahan yang mampu beradaptasidengan perkembangan lingkungan strategis (dynamic government).
Sebagai perwujudan think ahead, praktisi komunikasi publik di K/L harus mampu berpikir strategis layaknya pemimpin redaksi dalam merencanakan dan membuat framing pemberitaan terkait dengan apa yang telah, sedang dan akan dikerjakan oleh K/L, menetapkan berbagai channeling yang akan digunakan dan target audience yang akan disasar.
Pola baru dengan menggali umpan balik melalui metode 360% perlu terus ditingkatkan, keterlibatan masyarakat harus menjadi fokus perhatian dengan interaktif dalam menyerap aspirasi masyarakat, utamanya untuk mengetahui outcome dari program dan kegiatan K/L.
Cara-cara kerja konvensional yang bersifat teknis pelayanan dalam penyiapan pers rilis, konferensi pers dan penyiapan liputan dan dokumentasi harus dapat dikembangkan dan dikemas secara lebih kreatif dan inovatif, sebagai pola kerja baru dengan memanfaatkan secara optimal perkembangan teknologi informasi komunikasi, internet dan media sosial.
Cara-cara penyajian dan kemasan komunikasi publik harus mengacu pada kemasan kekinian yang menjadi trend dan mudah dicerna, tanpa mengurangi makna subtansial dari pesan, model-model penyajian melalui infografis, vblog, animasiserta modeling analisis berita dengan coding teknologi secara realtime dan pengelompokan terhadap pro kontra terhadap isu strategis dan kinerja pembangunan perlu terus dikembangkan.
Di era digital media, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah tidak cukup hanya menyampaikan informasi saja, tetapi harus memiliki dashboard pengendalianyang terintegrasi antar K/L, melalui interface data sebagai one big data, yang terus diupdate sebagaibackground informasi diseminasi komunikasi publik dan alat kendali pimpinan dalam melakukan perubahan dibelakang panggung (manufacturing quality) dan depan panggung (service quality).
Praktisi humas pada K/L pemerintah perlu terus mengefektifkan dan mengefesiensikan komunikasi publik yang dilakukan, dengan meningkatkan sinergitas antara K/L, menghapus sekat-sekat sektoral, sehingga komunikasi publik pemerintah dapat mendukung conversation di digital media agar “tidak keruh dan dapat berimbang”, hal ini sangat dibutuhkan dalam mengantisipasi perubahan tuntutan konten komunikasi publik dari kebutuhan timesseries menjadi realtime dan eksponensial.
Perubahan mindset dari owning economy menjadi sharing economy terkait dengan konten komunikasi publik perlu terus digelorakan, konsep berbagi konten komunikasi publik, untuk mendapatkan narasi tunggal menjadi satu keniscayaan, hilangkan belenggu dengan pola pikir konvensional, gunakan pola-pola baru dengan inovasi dan kreatifitas sehingga efektifitas dan efesiensi komunikasi publik dapat dicapai.
Pengelolaan media sosial sebagai channeling baru dalam mendiseminasi pesan seyogyanya menjadi pilihan strategi pada berbagai K/L, disamping tetap membina relasi dengan media mainstream, pemanfaatan berbagai channelingdiharapkan dapat membangun persepsi positip, sekaligus sebagai upaya nation branding guna meningkatkan kepercayaan (trust) dari rakyat dan dunia internasional.
Ibarat sebuah paduan suara dan simfoni orkestra, harmonisasi pengelolaan komunikasi publik sangatlah penting, konsistensi dan kejelasan dalam agenda setting serta narasi tunggal menjadi isu strategis yang perlu terus ditangani secara profesional sehingga dapat berkonstribusi dalam membangun image positif tentang Indonesia.
Kita tentunya berharap dengan semakin terkonsolidasinya komunikasi publik pada K/L pemerintah, akan dapat memberikan konstibusi menciptakan persepsi positip dalam membangun kepercayaan (trust) dari masyarakat dan dunia internasional, sehingga investasi dapat terus tumbuh dan agenda-agenda pembangunan dapat terus dipacu, Indonesia akan menjadi bangsa yang terdepan dalam kemajuan dan menjadi bangsa pemenang dalam menghadapi era kompetisi.
Penulis : Gilang
Editor : Tahang
Publish : Tahang
from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2zbY8ge
via
Tidak ada komentar