Meruntuhkan Klaim Kebangsaan dan Keagamaan (Literasi Polri) https://ift.tt/eA8V8J
Tribratanews.kepri.polri.go.id – SULIT sekali menghilangkan kekhawatiran akan masa depan bangsa ini dalam beberapa tahun mendatang. Seusainya perhelatan Pilkada DKI Jakarta, tidak serta-merta menghilangkan aroma kebencian yang sudah berlangsung dan mungkin juga dipelihara cukup lama. Sekarang ritual kebencian itu sudah mencapai titik puncaknya, karena masing-masing kelompok sudah mulai menggunakan klaim kebangsaan dan keagamaan.
Persoalannya, pada tahun ini akan ada gelaran pilkada serentak yang merentang mulai dari Aceh hingga Papua. Hanya berselang dua bulan setelah itu hingga tahun depan, akan ada puncak perhelatan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif 2019.Hajatan akbar politik ditambah dengan segregasi sosial yang bersandar pada klaim kebangsaan dan keagamaan adalah racikan paling berbahaya bagi negara dengan tingkat heterogenitas sekompleks Indonesia.
Klaim Kebangsaan dan Keagamaan
Secara genealogis, kedua klaim ini memiliki daya pikat luar biasa. Seseorang ataupun satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas, hidup atau mati. Sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas nama agama dan bangsa (nasionalisme).
Akan tetapi, di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik kebangsaan maupun agama, sesungguhnya memiliki energi maha besar untuk melindungi semua hak manusia yang paling fundamental, yaitu hak hidup dan hak mengenyam kebebasan. Sejarah lagi-lagi menunjukkan bahwa tak ada satu doktrin pun bisa demikian luas melayani kemanusiaan, selain agama dan rasa kebangsaan. Karena itu, tidak mengherankan bila para pendiri bangsa ini menyusun rencana politik sangat mapan dengan membuat skema konvergensi kebangsaan baru di atas fondasi keagamaan dan kebangsaan yang ada di Nusantara.
Sayangnya, yang kini sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya. Saat kebangsaan Indonesia sedang mencapai puncaknya dan menjadi satu prinsip kebangsaan tersendiri, sisi tersebut menjadi begitu chauvistik. Nilai-nilai kebangsaan dimonopoli, didefinisikan secara sepihak, dan kemudian dijadikan sebuah otoritas untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik. Tiba-tiba atas nama rasa kebangsaan, semua yang berbeda dengan pilihan politiknya menjadi ”tidak Indonesia”, melawan Pancasila, dan antikebinekaan.
Sedangkan di sisi lain, nilai-nilai keagamaan yang sudah begitu cair di relung kebudayaan masyarakat justru hadir dalam wajah begitu garang. Agama Islam yang sejak awal hadir dengan profil profetiknya dan sudah turut membidani lahirnya kebudayaan baru Nusantara Modern justru saling mengecam di antara para pemeluknya. Islam serta-merta menjelma menjadi struktur otoritas yang kaku.
Agama yang terkenal begitu damai dan bersahabat ini muncul dalam bentuknya paling eksklusif, bahkan begitu keras pada sesama penganutnya yang berbeda tendensi politik. Jelas indikasinya, kedua-duanya, baik nilai-nilai kebangsaan maupun agama, telah di tunggangi dan dimanipulasi sejak masa kampanye Pilkada DKI hingga sekarang. Sialnya, semua lapisan kelas masyarakat mulai dari elite hingga akar rumput sudah terstigmatisasi dengan dikotomi ini. Dinamika Pilkada DKI berubah menjadi arena perebutan supremasi nilai kebangsaan vs keagamaan. Konfrontasi ini tak juga surut meski perhelatan Pilkada DKI sudah selesai.
Persoalannya kemudian menjadi tidak sederhana. Pemerintah yang seyogianya mengambil otoritas nilai dari semua pihak justru terseret masuk ke dalam dikotomi yang dibangun secara semena-mena ini. Selama berlangsungnya Pilkada DKI, khususnya dalam kasus hukum yang menjerat nama Basuki Tjahaja Purnama, pemerintah beserta segenap aparaturnya di anggap berat sebelah. Sedangkan di sisi lain, pemerintah dianggap tidak tegas dalam merespons ancaman esensial terhadap kedaulatan bangsa dan negara. Kedua tudingan ini telah menyudutkan pemerintah ke titik dilematis, karena otoritasnya dinegasikan dan legitimasinya mulai diabaikan. Tanpa legitimasi, sebuah kekuasaan tidak memiliki otoritas.
Masalah legitimasi dalam masyarakat modern adalah tidak dijaminnya lagi suatu ekuivalensi dan kemapanan dunia karena perpecahan antara kekuasaan, pengetahuan, dan hukum. Akibatnya, tidak ada hukum yang dapat dipastikan atau dijadikan sebagai acuan (Laclau-Moufee, 1999). Inilah sejatinya yang sedang kita lihat beberapa bulan terakhir, karena logika kekuasaan dan politik berbenturan satu sama lain dengan pengetahuan dan hukum positif. Hal itu akhirnya melahirkan krisis rasionalitas dalam diri masyarakat, berujung pada kecemasan massal, hingga semua berebut mencari otoritas alternatif yang lebih legitimate.
Karena itu, untuk memperbaikinya, semua otoritas yang mengatasnamakan rasa kebangsaan dan agama harus dirobohkan terlebih dahulu. Salah satu caranya, para elite kelas menengah dan kaum intelektual hendaknya mulai menarik diri dari konflik dikotomis yang tidak sehat ini serta mulai membuat kesepahaman untuk memitigasi brutalitas permainan politik yang berbahaya ini. Sulit dimungkiri, para elite kelas menengah dan kaum intelektual inilah selama ini membidani lahirnya narasi, argumentasi, dan agitasi masing-masing kelompok.
Namun terpenting, negara harus berani mengambil alih semua otoritas nilai dari semua kelompok. Pemerintah selaku operator negara harus menarik diri dari makna asosiasi kelompok politik ataupun individu mana pun. Hukum harus tegak sebagai panglima agar marwah negara tetap terjaga. Bila tidak, hari-hari ke depan kita akan menghadapi masa depan kelam, karena rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme dan nilai-nilai keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan kedua-duanya tidak pernah melayani kemanusiaan, melainkan akan menyeret martabat kemanusiaan hingga ke titik terendah peradabannya.(Wim T)
Penulis : Gilang
Editor : Edi
Publish : Tahang
from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2PQKDJt
via
Tidak ada komentar