Header Ads

Polri Bukan Islamofobik https://ift.tt/2KB6eme

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Pasca serangan teroris yang belakangan menghantui Negara Indonesia telah membuat Polri pun mengaktifkan siaga satu di berbagai daerah. Pemeriksaan antisipasi terorisme menyasar setiap sipil yang dicurigai. Di media sosial, beredar video pemeriksaan seorang laki-laki bersarung dan peci. Berjarak sekitar 8 meter dari aparat polisi, dia diminta membongkar isi kardus dan tas ransel miliknya. Akun Twitter Satlantas Polrestabes Semarang menjelaskan, anak beratribut Muslim itu berperilaku mencurigakan saat melintas di depan pos polisi Simpang Lima, Semarang. Akun itu mengungkapkan dasar hukum pemeriksaan itu UU 2/2002. Dalam UU itu hanya dijelaskan mengapa Polri harus lakukan pemeriksaan, tetapi tak ada rincian bagaimana pemeriksaan dilakukan. Begitu juga dengan SAN, perempuan yang diturunkan dari bus oleh petugas keamanan terminal Gayatri, Tulungagung, Jawa Timur. Sebabnya perempuan itu memakai cadar dan tampak linglung. Kepala Terminal Gayatri Oni Suryanto menjelaskan, saat ditanyai petugas keamanan SAN tak menjawab. Akhirnya dia digiring ke pos pemeriksaan.

Ketua Komite III DPD Fahira Idris menegaskan tindakan macam itu justru diharapkan oleh pelaku teror. Sebab tujuan teroris, ujarnya, memunculkan sekat di antara masyarakat. Kecurigaan dan pengawasan berlebihan akan berkembang berujung persekusi bagi perempuan bercadar. Menurutnya, di negara-negara Barat, di mana sebagian masyarakat begitu benci terhadap cadar dan simbol Islam lainnya, sehingga marak terjadi persekusi. Menurut juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin mengeluhkan prosedur Polri periksa atau geledah terduga pelaku teror. Dia menganggap apa yang dilakukan Polri telah membatasi umat Islam dan memunculkan opini buruk pada agama Islam. Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menjelaskan prosedur Polri dalam melakukan pemeriksaan atau penggeledahan di tempat cenderung berlebihan. Alghif cemas jika situasi Indonesia bisa mirip dengan Amerika Serikat. Karena Islam dicap sebagai teroris, maka muncul islamophobia di Negeri Paman Sam itu.

Pernyataan mereka yang protes pada cara Polri lakukan pemeriksaan itu diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 1/2002. Isinya terkait pemberantasan tindak pidana terorisme tak boleh diskriminatif. Dalam Pasal 2, dijelaskan Polri harus tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.

Bantah Sebar Islamofobia

Prosedur pemeriksaan yang dilakukan Polri semata untuk menjaga keamanan, bukan memojokkan orang beratribut agama Islam. Hal itu diungkapkan Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto, yang mengatakan bahwa sebagian besar anggota Polri adalah beragama Islam, tidak mungkin terjadi islamophobia. Setyo juga menegaskan Polri hanya memeriksa gerak-gerik orang yang mencurigakan. Bukan karena cara berdandan atau berpakaian yang menjurus pada agama tertentu. Dia juga berharap publik tak salah paham atau saling curiga satu sama lain, sehingga tak memunculkan perpecahan horizontal seperti yang dikatakan oleh Fahira Idris. Persekusi, terhadap apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR, Taufiqulhadi. Politikus Partai Nasdem menuturkan, masyarakat seharusnya memaklumi kekhawatiran polisi. Sebab sudah muncul banyak korban jiwa akibat teror yang susah dideteksi. Ia memaklumi metode pemeriksaan oleh polisi. Pemeriksaan dengan alat pendeteksi logam dinilainya sulit dilakukan di ruang terbuka dengan jumlah orang yang banyak.

Penulis : Rexi S

Editor : Edi

Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2IJ2U6Q
via

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.