Header Ads

Menguji Kinerja Polri Dengan Konflik Kebebasan Beragama https://ift.tt/eA8V8J

Menguji Kinerja Polri Dengan Konflik Kebebasan Beragama https://ift.tt/eA8V8J
Menguji Kinerja Polri Dengan Konflik Kebebasan Beragama https://ift.tt/eA8V8J
Menguji Kinerja Polri Dengan Konflik Kebebasan Beragama https://ift.tt/eA8V8J

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Salah satu desakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak Polri agar menindak tegas mereka yang merusak tempat ibadah karena itu melanggar kebebasan beragama, tuntutan itu disambut baik oleh Polri.

Ini berita menggembirakan dan langkah penting sekaligus sebagai momentum. Tuntutan Komnas HAM patut didukung, kemitraan antara Polri dan masyarakat sipil, terutama para pemimpin agama dan penggiat HAM, harus jadi arus utama cara kita menangani konflik kebebasan beragama agama.

Mengaitkan keduanya, pemolisian dan konflik keagamaan sangat penting. Salah satu tugas Polri adalah menjamin keamanan warga negara, termasuk ketika mereka menjalankan hak untuk bebas beragama. Tugas Polri lainnya menjaga ketertiban sosial antara lain berbentuk diselesaikannya berbagai konflik, termasuk konflik agama, secara damai, apalagi jika kita ingat betapa agama berperan penting di negara kita.

Sayangnya, kaitan pemolisian dan hak bebas beragama sangat jarang diperhatikan, termasuk oleh para penggiat kebebasan beragama atau HAM secara umum. Keduanya berjalan sendiri-sendiri. Dalam evaluasinya tentang Polri , Unfinished Business (2009), Amnesty International sama sekali tak menyinggung ihwal pelanggaran kebebasan beragama. Sementara itu, dalam beberapa laporan tentang kinerja kebebasan beragama, seperti yang diterbitkan The Wahid Institute atau Setara Institute, Polri tidak memperoleh sorotan khusus. Dan dapat dipastikan, ini bermula dari kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri

Agar HAM bisa ditegakkan, kita tak bisa lain kecuali bekerja bersama-sama meningkatkan kapasitas Polri dalam menjalankan tugasnya dengan benar. Menjadi lebih penting lagi hal ini ditekankan sebab saat ini kita berada dalam era yang disebut transisi menuju demokrasi. Di mana-mana, era seperti ini ditandai oleh sebuah paradoks yaitu sementara tuntutan akan penegakan hak meningkat, kapasitas negara (baca: Polri) di dalam memenuhi kewajibannya justru sedang melemah karena distorsi kewenangan baik secara formal maupun informal yang terus diupayakan oleh pihak teretentu.

Inilah kendala sekaligus tantangan kedua pihak; memperkuat praktik pemolisian yang ramah terhadap kebebasan beragama di tengah transisi menuju demokrasi. Yang diharapkan hasilnya adalah sebuah praktik pemolisian yang oleh Amnesty International (2009), disebut ”pemolisian berbasis HAM”.

Berdasarkan pengamatan terhadap penanganan konflik yang melibatkan agama, Polri tampak dihadapkan pada tiga jenis keterbatasan dan inkompetensi yaitu :

Pertama, pengetahuan dan keterampilan Polri di bidang manajemen konflik agama masih terbatas. Sering kali Polri seperti tak memiliki pedoman atau prosedur yang tepat untuk melaksanakan tugas. Atau, prosedur yang ada sudah tak memadai lagi. Selain itu, Polri juga sering merasa tidak mendapat dukungan dari kaum agamis, mereka tampak kikuk, tak percaya diri, dan ”takut melanggar HAM”.

Dalam kasus sengketa tempat ibadah, misalnya, Polri pernah dilaporkan membiarkan salah satu pihak menutup paksa tempat ibadah, tidak datang ke tempat kejadian, atau menyegel tempat ibadah karena tekanan atau intimidasi salah satu pihak. Dalam menangani konflik sektarian, Polri pernah bekerja sama dengan lembaga tertentu seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi tidak dengan lembaga lain seperti Komnas HAM.

Keterbatasan aparat Polri tampak juga dalam kasus kekerasan antarumat di Maluku dan Poso, dalam konflik sektarian yang pernah dialami Gereja HKBP, kasus Ahmadiyah di Jawa Barat dan Lombok, atau tindakan main hakim sendiri yang dipertontonkan oleh laskar atau milisi berbasis agama di Jakarta dan Solo. Polri memerlukan pengetahuan dan keterampilan di bidang manajemen konflik agama karena pemilahan sosial berdasarkan agama dan sekte sangat penting di dalam masyarakat kita. Kadang pemilahan berdasarkan garis agama tumpang tindih dengan garis pemilahan lain, seperti suku, kelas ekonomi, dan afiliasi politik. Ini menyebabkan konflik sektarian dan antaragama terkait dengan—atau merupakan cerminan dari—konflik etnis, kelas, dan politik.

Kedua, hubungan dan kerja sama timbal-balik antara tokoh agama dan polisi sering lemah atau tidak ada di tempat-tempat terjadinya konflik agama. Tokoh agama sering tidak menjalin hubungan dengan polisi, dan polisi sering tidak menjalankan fungsi kemitraan dengan masyarakat dan tokohnya. Polisi cenderung berperan sebagai penegak hukum atau aparat keamanan yang berusaha menanggulangi keadaan yang sudah telanjur rumit.

Sementara itu, ketika polisi sukses menjalankan tugas, seperti menangkap sejumlah pengikut Jemaah Islamiyah (JI) yang terlibat aksi terorisme, apresiasi publik terhadap capaian penegak hukum itu kurang. Ini mengisyaratkan dukungan dan kerja sama dari masyarakat memang kurang.

Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap Polri dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat sipil, khususnya organisasi keagamaan dan forum antariman, perlu melakukan kerja sama dan kemitraan yang partisipatif dan melembaga perlu dikembangkan Polri dengan masyarakat, baik dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri ataupun dalam rangka menyelesaikan masalah.

Ketiga, ada kelemahan dalam sistem tata kelola pemerintahan kita, khususnya di bidang kehidupan keagamaan. Perlu adanya dukungan total dari Pemerinta c.q Kementerian Agama sekaligus menjadi fasilitator dalam koordinasi anatara Polri, pimpinan agama/organisasi agama dan duduk bersama menyelesaikan setiap konflik agama.

Legislasi dan regulasi sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan di bidang agama perlu ditinjau supaya Polri memiliki pijakan kukuh di bidang penanganan konflik dan kekerasan yang melibatkan agama. Sudah saatnya kita bersungguh-sungguh memikirkan sekaligus mencari solusi  yang tepat terhadap penanganan konflik yang melibatkan agama.

Sebatas kurangnya kepercayaan terhadap Polri sebagai aparat negara tidaklah memadai. Perlu dipikirkan bersama faktor pemicu konflik agama itu sendiri  serta bagaimana masalah itu terkait dengan unsur-unsur lain yang saling berhubungan dan berkepentingan di dalam masyarakat sipil dan sistem tata kelola pemerintahan.

Penulis : Gilang

Editor : Edi

Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2yxPyu7
via
via Blogger https://ift.tt/2MKDjgN

via Blogger https://ift.tt/2tl5z1n

via Blogger https://ift.tt/2K7VcYH

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.