Header Ads

Teori Rasional, Anomi, dan Pemolisian Komunitas Terhadap Begal https://ift.tt/eA8V8J

Teori Rasional, Anomi, dan Pemolisian Komunitas Terhadap Begal https://ift.tt/eA8V8J

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Pembegalan/ pencurian dengan kekeran merupakan jenis kejahatan yang akhir-akhr ini marak di sekitar kita, dari sekian banyak peristiwa begal sebut saja aksi begal di bukit daeng Kota Batam pada Agutus 2017 yang menyebabkan korban meninggal. Aksi begal di Sei Lekop Kab. Bintan yang korbannya diikat dan dibuang disemak-semak yang terjadi pada Agustus 2017.

Selain hal tersebut pelaku begal di kawasan batu aji pada Juni 2017 lalu juga memakan korban dimana pelakunya kemudian dihajar oleh warga. Dan masih banyak lagi kasus-kasus begal yang terjadi menunjukkan bahwa aksi begal masih ada dan terjadi dan senantiasa menjadi penomena kejahatan di tengah kesulitan ekonomi yang dialami.

Sebagai reaksi atas fenomena tersebut, pihak kepolisian mengambil upaya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan. Polisi juga telah berhasil menangkap beberapa pelaku pembegalan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah, mengapa pembegalan masih saja terjadi? Hal tersebut menjadi menarik untuk dikaji. Tulisan kali ini akan memberi gambaran secara kriminologis mengenai aksi pembegalan dan bagaimana pencegahannya.

Begal dalam Melakukan Aksinya; Teori Pilihan Rasional

Keinginan yang kuat untuk memperoleh keuntungan materi merupakan salah satu komponen yang mendorong munculnya kejahatan. Individu menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang telah di dapat dan untuk mencapainya mereka menggunakan cara illegal. Data yang diperoleh dari beberapa pemberitaan media massa menyebutkan bahwa motif pelaku melakukan aksinya adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi. Mereka menggunakan hasil rampasannya untuk kebutuhan hidup. Dari beberapa paparan berita di atas, diketahui bahwa para pelaku begal memiliki alasan masing masing mengapa mereka melakukan aksinya. Walaupun secara sekilas alasan mereka berbeda beda, namun tersirat bahwa alasan mereka melakukan pembegalan adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Pola seperti itu sesuai dengan penjelasan Weber mengenai rasionalitas. Weber membagi beberapa tipe rasionalitas, yang mana salah satunya adalah rasionalitas praktis.  Kalberg mendefinisikan rasionalitas praktis sebagai “Setiap cara hidup yang memandang dan menilai kegiatan duniawi terkait dengan kepentingan kepentingan individual pragmatis dan egoistis belaka”. Individu yang menerapkan rasionalitas praktis hanya memikirkan cara cara untuk mengatasi kesulitan kesulitan yang dihadapi.

Tidak berhenti sampai disitu, Cornish dan Clarke mengembangkan konsep tersebut dalam teori pilihan rasional. Fokus dalam teori tersebut adalah bahwa para individu dilihat memiliki tujuan dan memiliki pilihan untuk mencapai tujuannya, serta tindakan untuk mencapai tujuan berdasarkan berbagai pilihan yang dapat diambil dengan mempertimbangkan peluang, keuntungan, dan kerugian. Pada konteks kejahatan, aktor kejahatan merupakan individu yang sadar dengan segala pertimbangannya. Hal ini berarti bahwa pelaku kejahatan telah memperhitungkan resiko atas tujuan yang ingin dia capai agar mampu memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian dari perilakunya. Pertimbangan tersebut yang kemudian mempengaruhi pelaku untuk menentukan tindakan dan target kejahatannya. Sebelum melakukan aksinya, aktor/pelaku akan membuat pilihan, dan menentukan keputusan, yang dalam prosesnya dipengaruhi oleh seperangkat faktor, yang menurut Cornish dan Clarke, membentuk suatu struktur pilihan rasional.

Seperangkat struktur tersebut antara lain :

  • Ketersediaan jumlah sasaran dan aksesibilitas
  • Kesadaran akan metode
  • Hasil tunai yag di dapatkan per kejahatan yang dilakukan
  • Keahlian yang dibutuhkan
  • Sumber daya yang dibutuhkan
  • Dikerjakan sendiri atau ada tenaga bantuan orang lain yang dibutuhkan
  • Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
  • Ketenangan pemikiran untuk melakukan
  • Kekhawatiran akan risiko
  • Beratnya hukuman apabila tertangkap
  • Alat kekerasan yang diperlukan
  • Konfrontasi dengan korban
  • Identifikasi korban
  • Cap social
  • Pembatas yang diperlukan
  • Evaluasi moral

Berdasarkan paparan di atas, pelaku pembegalan akan mempertimbangkan antara resiko dan keuntungan sebelum melakukan aksinya. Ketika resiko dirasa lebih besar maka potential offender tidak akan melakukan tindakannya atau tidak menjadikan objek tersebut sebagai target. Sebagai contoh, berikut simulasi pada dua kondisi yang berbeda. Kondisi pertama target menggunakan sepeda motor dengan nilai ekonomis yang tinggi, mengendarai dengan perlahan, di jalan yang sangat sepi dan pencahayaan redup. Kondisi kedua target menggunakan kendaraan dengan nilai ekonomis yang sama, dengan kecepatan tempuh yang lebih cepat, di jalan yang ramai. Dari kondisi tersebut, jika merujuk pada penjelasan mengenai Struktur Pilihan Rasional, maka potential offender berkecenderungan untuk memilih target pada kondisi satu dibanding dengan target pada kondisi dua. Walaupun keuntungan yang diperoleh sama, akan tetapi resiko yang muncul akan jauh lebih besar ketika menjadikan target kedua sebagai sasaran pembegalan.

Pendapat Ahli dalam Memahami Kejahatan

Menurut Emile Durkheim, kejahatan adalah gejala yang normal di dalam masyarakat yang heterogen. Hal ini berarti kejahatan tidak dapat dihilangkan. Menurutnya, dengan adanya kejahatan akan membuat perkembangan yang dinamis di berbagai unsur yang ada di dalam masyarakat. Misal, ketika terjadi suatu kejahatan, maka reaksi sosial masyarakat yang muncul adalah meningkatnya kewaspadaan diikuti dengan sistem pengamanan yang baru dan dianggap lebih efektif untuk melindungi diri dan masyarakat luas. Begitu juga para pelaku kejahatan, juga akan berkembang untuk mencari celah ketika ketika melakukan aksinya. Secara makro, perkembangan yang dinamis tersebut juga akan berpengaruh terhadap moralitas masyarakat dan kebijakan yang diberlakukan.

Sebelum berbicara gejala kejahatan, sebagai latar belakang, Durkheim membahas mengenai solidaritas sosial yang terbentuk di dalam masyarakat. Durkheim membagi dua tipe solidaritas yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Mengacu pada paragraf sebelumnya, mengenai masyarakat yang heterogen, Durkheim mengkategorikannya ke dalam solidaritas organis. Solidaritas ini muncul karena pembagian kerja bertambah banyak, yang kemudian berpengaruh terhadap bertambahnya spesialisasi di bidang pekerjaan. Spesialisasi ini bukan hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi. Hal tersebut berarti masyarakat memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organik bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, karena adanya rasa ketergantungan antara satu dengan yang lain.

Di dalam masyarakat organik Durkheim percaya, hukum berperan untuk mengatur interaksi sosial. Bila hukum tidak befungsi hasilnya adalah penyakit social, termasuk di dalamnya kejahatan yang merupakan keadaan anomi. Hal ini merupakan kecenderungan pada masyarakat urban industri. Membahas mengenai anomi, sebenarnya istilah tersebut sudah muncul dalam Bahasa Inggris sejak 1591 dan umumnya menunjuk pada sikap yang tidak mempedulikan hukum. Keadaan anomi dapat terjadi pada masyarakat ketika terjadi perubahan nilai dan norma secara cepat, tetapi di lain sisi, masyarakat belum mampu untuk beradaptasi dengan nilai dan norma yang lama, sementara nilai-nilai yang baru belum jelas. Hal ini berakibat pada kegagalan individu dalam menginternalisasi norma-norma masyarakat, ketidakmampuan menyesuaikan norma-norma yang berubah, atau bahkan konflik norma itu sendiri. Mereka mengalami kebingungan sehinga kontrol sosial atas individu juga menurun. Di lain sisi individualisme meningkat dan gaya hidup baru muncul. Hal ini yang kemudian memunculkan kemungkinan perilaku menyimpang.

Dalam perkembangannya, Merton memodifikasi konsep orisinil Durkheim mengenai anomi. Merton memandang anomi sebagai perilaku menyimpang yang timbul karena ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Dengan demikian, menurut teori anomi Merton, perilaku anti-sosial hingga kejahatan sebetulnya dihasilkan oleh nilai-nilai masyarakat itu sendiri dalam mendorong aspirasi material yang tinggi sebagai lambang kesuuksesan tanpa disediakan sarana yang memadai untuk mencapai tujuan itu. Ketimpangan antara tujuan dan sarana mencapai tujuan tesebut yang kemudian melahirkan mode adaptasi kepribadian.

Upaya yang dilakukan

Dalam pendekatan tradisional mengenai upaya mencegah dan menanggulangi tindak kejahatan, negara dan badan penegak hukum memikul tanggung jawab besar untuk memerangi kejahatan, menciptakan hukum dan kebijakan yang dirancang untuk melindungi masyarakatnya. Namun faktanya, upaya pencegahan kejahatan melalui pendekatan tradisional tidaklah cukup. Jika kita dapat setuju bahwa kejahatan adalah masalah sosial, maka kita juga harus melibatkan berbagai elemen masyarakat yang bersangkutan dan memberdayakan masyarakat untuk mengambil kendali dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri dengan bantuan dari negara dan lembaga formal.

Sebagai solusi, berkembanglah pendekatan praktis dalam upaya memerangi kejahatan. Pendekatan praktis adalah salah satu di mana masalah kejahatan didekati dari semua segmen masyarakat yang diberdayakan untuk kepentingan bersama. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan merupakan bagian dari komunitas yang harus dilibatkan dalam menangani masalah ini. Oleh karena itu, untuk mengurangi fenomena kejahatan yang terjadi, tidak hanya dengan menggembleng penegakan hukum, namun juga perlu melibatkan kelompok masyarakat. Dengan melibatkan kelompok masyarakat dalam menghadapi masalah kejahatan, diharapkan akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi norma, nilai, dan prinsip yang berlaku di dalam lingkungan sosialnya. Masyarakat memainkan peran sentral dalam wacana mencegah kejahatan. Masyarakat diharapkan dapat melibatkan diri ke dalam kegiatan tersebut.

Berbicara mengenai pencegahan kejahatan yang berbasis pada komunitas, juga tidak terlepas dengan konsep pemolisian komunitas. Pada konsep tersebut, terdapat upaya mengkolaborasikan antara polisi dan komunitas masyarakat untuk bersama-sama mengidentifikasi masalah kejahatan dan ketidaktertiban di lingkungan sosialnya. Dengan mengoptimalkan pemolisian komunitas, berarti membuka hubungan timbal balik antara badan formal kepolisian dan kelompok masyarakat dalam mencapai tujuan yang sama, sehingga terdapat interaksi dan relasi yang baik antara pihak kepolisian dan masyarakat.

Membicarakan pemolisian komunitas juga tidak terlepas dalam konsep kapasitas komunitas, terdapat beberapa elemen di dalamnya yaitu :

  1. Kohesi sosial dan saling percaya diantara penduduk suatu lingkungan ketetanggaan;
  2. Kontrol sosial informal, dimana para penduduk berbagi ekspektasi bagi kontrol sosial untuk mengintervensi lingkungan atas dasar kebaikan bersama;
  3. Partisipasi komunitas bagi kegiatan, baik yang datang dari dalam maupun luar komunitasnya adalah kemampuan penduduk lingkungan dalam berpartisipasi mencegah kejahatan.

Dari paparan di atas, konsep pemolisian komunitas ini yang kemudian direkomendasikan dalam strategi pencegahan kejahatan pada fenomena begal yang marak terjadi. Dianalogikan kepolisian sebagai sebatang lidi yang mudah dipatahkan, akan tetapi akan menjadi sangat kuat dan tidak terpatahkan ketika banyak lidi disatukan. Sama halnya ketika kepolisian dan komunitas masyarakat bersatu dalam memerangi kejahatan maka akan menghasilkan kinerja yang lebih optimal. Untuk mewujudkan ini perlu adanya keterbukaan dari kedua belah pihak dan adanya komitmen untuk saling bekerja sama sehingga keduanya dapat terintegrasi.

Selama ini masyarakat cenderung melimpahkan segala sesuatu dalam upaya memerangi kejahatan pada kepolisian. Begitu juga dengan kepolisian sudah saatnya lebih membuka diri kepada masyarakat untuk dapat saling bekersama. Oleh karena itu perlu kesadaran baik dari kepolisian maupun masyarakat dalam hal menangani fenomena begal. Pihak masyarakat dapat berinisiatif untuk membentuk kelompok untuk berjaga di wilayah wilayah yang rawan terjadinya pembegalan. Mereka dapat melakukan patroli dengan berjalan kaki. Begitu juga dengan kelompok komunitas, seperti komunitas sepeda motor juga dapat melakukan patroli. Patroli dan sistem penjagaan keamanan memang harus ditingkatkan dari berbagai aspek, mulai dari fasilitas hingga strategi yang dilakukan.  Patroli disini yaitu patroli yang menyentuh langsung masyarakat. Sehingga baik polisi maupun masyarakat dapat mengetahui secara mendalam mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan. Selain itu sesama pengguna jalan juga harus saling peduli dan saling mengingatkan untuk kebaikan bersama. Peran yang dilakukan pihak kepolisian terhadap masyarakat pun tak hanya terbatas pada informasi titik-titik rawan kejahatan begal, tetapi juga harus menjalin kemitraan dengan masyarakat untuk terlibat dalam pencegahan kejahatan. Berbagai informasi maupun laporan dari masyarakat terhadap pihak kepolisian juga harus ditindak dengan cepat. Peran dari berbagai pihak seperti ini merupakan cara yang efektif, yang seharusnya diterapkan untuk menangani fenomena begal. (Gde Dharma Gita Diyaksa)

Penulis : Gilang

Editor : Edi

Publish : Tahang



from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI https://ift.tt/2tqDjKP
via
via Blogger https://ift.tt/2KfpmJl

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.