Meniti Gakkum Polri Yang Adil Dan Humanis
Tribratanews.kepri.polri.go.id – Selama bergabung dengan TNI (ABRI), secara praktis telah mengikis nilai-nilai kepolisian sipil yang universal dalam jiwa Polri dan tertransformasi dalam instrumen yang militeristis, baik filosofi, visi, misi, doktrin hingga petunjuk pelaksanaan tugasnya. Filosofi Tri-Brata dan Catur Prasatya sebagai sumber nilai-nilai filosofi Polri, seakan tertelan dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Demikian pula Doktrin Polri “Tata Tentram Kerta Raharja” yang membingkai koridor pelaksanaan tugas pokok dan pencapain tujuan Polri, tenggelam dalam doktrin “Catur Dharma Eka Karma dan “Doktrin Perjuangan ABRI”. Istilah-istilah petunjuk pelaksanaan yang bernuansa militer pun, seperti ‘pembinaan kekuatan’ atau ‘penggunaan kekuatan’, menjadi akrab di telinga personil Polri.
Di era reformasi, paradigma baru Polri merupakan salah satu realisasi tuntutan reformasi dalam rangka menuju terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang demokratis, yang ditandai dengan terselenggaranya pemerintahan yang transparan, akuntabilitas, good governance, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia sebagimana tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Paradigma baru Polri adalah terwujudnya Polisi sipil (Civilian Police) yang merupakan paradigma yang cocok atau sesuai dengan tuntutan masyarakat di era reformasi dan relevan dengan ciri universal Polisi Internasional serta tepat digunakan saat ini dan yang akan datang.
Paradigma baru Polri adalah paradigma yang mencerminkan nilai, sikap dan perilaku yang mengarah pada watak sipil, bukan watak militer. Hakekat Polisi sipil tersebut adalah : menjunjung tinggi HAM dan demokrasi, melaksanakan supremasi hukurn, senantiasa memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan pada masyarakat, transparan, akuntabilitas, menegakkan hukum secara profesional, obyektif dan profesional, adiI, menjauhkan diri dari kultur militeristik dan tidak memihak dalam melaksanakan tugas, mandiri dalam arti tidak bisa diintervensi oleh kepentingan politik atau kepentingan tertentu yang bertentangan dengan supremasi hukum, HAM dan demokrasi.
Dalam membangun penegakkan hukum yang humanis sehingga dapat menciptakan rasa keadilan sosial, maka Polri senantiasa memegang teguh prinsip penyelidikan dan penyidikan yang transparan, akuntabel dan humanis sehingga dapat mewujudkan kepercayaan masyarakat. Sebagai aparat penegak hukum, Polri senantiasa mendapatkan sorotan masyarakat terkait dengan kinerja dan kualitas penanganan kasus-kasus hukum yang berkembang saat ini. Ada tuntutan agar supaya Polri menerapkan strategi penegakkan hukum yang humanis yang memperhatikan rasa keadilan masyarakat tanpa mengabaikan kaidah dan prinsip hukum sebagaimana tertuang dalam KUHP.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut : Bagaimana strategi yang diformulasikan dalam penegakkan hukum yang humanis guna menciptakan rasa keadilan sosial?. Sedangkan pokok-pokok persoalan yang dirumuskan adalah : Bagaimana kondisi empiris penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap rasa keadilan sosial dan kepercayaan masyarakat kepada Polri? Bagaimana strategi yang ditempuh untuk melakukan penegakkan hukum yang humanis?.
- Kondisi Empiris Penegakkan Hukum Polri
Di era reformasi sekarang ini, Polri menghadapi ujian yang sangat berat karena adanya berbagai kasus hukum yang diduga melibatkan oknum anggota Polri sehingga mendapatkan liputan pemberitaan media massa yang luas yang pada akhirnya mencoreng citra penegakkan hukum Polri. Sebagai aparat penegak hukum, Polri merupakan ujung tombak dalam mencegah, menangani, mengungkap, dan memberantas berbagai tindak pidana dan kasus hukum yang terjadi di level kepemerintahan, kemasyarakatan, dan instansi publik lainnya.
- Maraknya kejahatan dan tindak pidana, mulai dari kejahatan tradisional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi, telah mendorong Polri untuk meningkatkan kemampuan, kualitas, dan kompetensi sehingga diharapkan dapat menegakkan hukum secara transparan, akuntabel, professional, dan humanis. Telah banyak prestasi yang diukir oleh Polri dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana, khususnya tindak pidana narkoba dan tindak pidana terorisme. Namun semua itu, tertutup oleh isu dan pemberitaan adanya oknum penyidik yang dinilai kurang profesional dan melanggar prosedur dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Dalam menegakkan hukum, Polri menghadapi dilema hukum. Di satu sisi, Polri berkomitmen untuk menegakkan hukum berdasarkan KUHP terhadap siapa saja yang melanggar hukum tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, dan tanpa diskriminasi. Hal ini dibuktikan dengan penanganan berbagai tindak pidana / kasus baik dalam skala besar maupun skala kecil, termasuk misalnya penanganan kasus bibit candra maupun penanganan kasus kakao di Banyumas. Namun demikian, di sisi lain, Polri dituntut untuk menerapkan hukum yang berkeadilan sosial masyarakat, yang ditandai dengan protes elemen masyarakat terhadap pembebasan bibit candra yang terindikasi melanggar hukum dan kasus kakao ibu minah yang memang melanggar hukum sekecil apapun.
Kondisi penegakkan hukum di Indonesia sekarang ini seolah-olah telah dikalahkan oleh opini publik dan konsensus masyarakat yang tentunya belum sepenuhnya benar. Kekuatan masyarakat dipergunakan sebagai alat bagi kelompok tertentu untuk membuat konsensus masyarakat dan penciptaan opini public untuk menekan dan mempengaruhi Polri dalam menegakkan hukum sehingga membuat wajah buram penegakkan hukum Indonesia, khususnya anggota Polri yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan dibuat bingung, ragu, khawatir, dan cemas. Penyidik Polrimenjadi ragu dam bimbang karena segala tindaka hukum yang dilakukan secara benar berdasarkan KUHP ternyata seringkali dianggap salah oleh sejumlah kelompok masyarakat. Inilah potret buram perjalanan penegakkan hukum Indonesia pada era reformasi yang mengalami dinamika paradoksal dan anomali hukum.
- Rasa Keadilan Sosial dan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polri
Dalam persepsi masyarakat, proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri selama ini dinilai belum mengedepankan rasa keadilan sosial masyarakat. Polri dianggap masih memakai “kacamata kuda” dalam menangani, mengungkap, dan memberantas segala tindak pidana yang terjadi di tengah masyarakat tanpa melihat aspek sosiologi hukum masyarakat.
Polri dipandang hanya memprioritaskan penegakkan hukum formalistic tanpa mengindahkan aspek yang berhubungan dengan sosiologis dan antropologis yang melingkupi kasus / tindak pidana yang ditanganinya. Rasa keadilan sosial yang dinilai masyarakat kurang diindahkan tersebut tentunya bermuara pada melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Padahal, dalam konteks reformasi Polri, saat ini Polri telah mencapai pada “trust building” dan mulai merajut pada “partnership building”.
Strategi Penegakkan Hukum Yang Humanis
Dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum yang humanis sehingga dapat menciptakan rasa keadilan sosial dalam rangka mewujudkan kepercayaan masyarakat, maka Polri perlu menerapkan alternatif strategi penegakkan hukum sebagai berikut :
- Polri Menerapkan Social Enginering (Rekayasa Sosial)
Polri perlu melakukan rekayasa sosial (social engenering) sehingga setiap pihak yang terlibat dalam kasus hukum / tindak pidana / sengketa dapat menerima kesepakatan dan usulan perdamaian berdasarkan “win-win solution”. Polri seyogyanya menggali nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat dalam menyelesaikan setiap permasalahan dan persoalan. Polri tidak boleh secara kaku dan saklek untuk menyelesaikan setiap persoalan di tengah masyarakat secara hukum.
Polri harus berprinsip bahwa langkah pertama dan utama dalam menyelesaikan suatu kasus hukum / tindak pidana di tengah masyarakat adalah menekankan pendekatan sosial budaya, kearifan lokal, musyawarah mufakat, dan penyelesaian secara adat istiadat setempat. Masyarakat didorong untuk menyelesaikan sendiri persoalan mereka dan Polri hanyalah sebagai penengah / fasilitator / mediator. Apabila cara-cara ini tidak dapat mendamaikan antar pihak yang bertikai, maka barulah langkah terakhir ditempuh melalui jalur hukum.
Proses rekayasa sosial dilakukan agar supaya masyarakat terlibat aktif dalam suatu kesepakatan perdamaian sehingga akan merasa berkepentingan untuk menjaga berbagai kesepakatan dalam perjanjian perdamaian. Sebagai contoh kasus konflik antar kampung yang dipicu oleh persoalan sepele, misalnya rebutan pacar, selisih paham antar pemuda, dll, yang semuanya dikedepankan melalui rekayasa sosial bersama-sama dengan komponen masyarakat.
- Polri Mengembangkan Alternatif Dispute Resolution (ADR)
Dalam menyelesaikan setiap kasus hukum yang terjadi ditengah masyarakat, Polri perlu pula mengembangkan alternative dispute resolution (proses penyelesaikan sengketa / kasus melalui cara-cara alternatif diluar proses hukum), khususnya dalam menangani kasus-kasus tindak pidana ringan (tipiring) yang mengedepankan mekanisme ADR dengan petugas Polmas sebagai garda terdepan.
Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa banyak kasus-kasus / tindak pidana yang dilaporkan masyarakat kepada Polri di berbagai wilayah (polres dan polsek) berkategori tindak pidana ringan, seperti pencurian ayam, pencurian kambing, pencurian buah, penggelapan uang kurang dari 50 juta, pemukulan / penganiayaan ringan, dan hutang piutang kurang dari 50 juta.
Dalam konteks penanganan kasus ringan tersebut di atas sebagai contoh, Polri dapat menerapkan ADR dengan mengundang berbagai pihak terkait dan pihak yang bersengketa untuk duduk bersama mendiskusikan dan memusyawarahkan kasus yang terjadi dan dicari solusi yang terbaik dan dibuat perjanjian / kesepakatan lisan dan tertulis ditandatangani oleh pihak yang bersengketa, disaksikan oleh aparat RT dan RW setempat, dan difasilitasi / mediasi oleh petugas Polmas setempat, tanpa harus diteruskan ke meja hijau / pengadilan.
- Polri Mengepankan tindakan Preemptif, Preventif, dan Represif
Dalam melaksanakan penegakkan hukum, Polri telah menetapkan SOP penegakkan hukum yang sering dikenal dengan langkah dan tindakan preemptif, preventif, dan represif/gakkum. Polri harus terus melakukan akselerasi untuk terlebih dahulu mengedepankan tindakan preemtif dan preventif dibandingkan dengan langkah represif / gakkum. Tindakan represif / gakkum dilakukan apabila langkah preemptif dan preventif tidak mampu lagi menangani berbagai kasus yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam tindakan preemptif, Polri harus melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh komponen masyarakat agar supaya mereka memahami dan menyadari permasalahan hukum secara menyeluruh sehingga tidak melakukan protes, unjuk rasa, dan demonstrasi ketika ada temannya atau kelompoknya yang ditangkap karena melakukan pelanggaran hukum, misalnya melakukan pemukulan, perjudian, atau tindakan anarkisme lainnya.
Dalam tindakan Preventif, Polri harus mengembangkan program Polmas secara cepat di tengah masyarakat sehingga terbentuk kewaspadaan dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya berupa pemberdayaan siskamling, ronda, pamswakarsa, dll. Polri harus menjalin kerjasama dengan instansi sektoral dan fungsional khususnya dengan CJS sehingga dapat melakukan pencegahan terhadap potensi terjadinya tindak pidana.
Dalam tindakan Represif / Gakkum, Polri harus melakukan tindaka penegakkan hukum yang transparan, akuntabel, profesional, humanis, dan bermoral terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, dan tanpa diskriminasi. Penyidik Polri sebagai ujung tombak dalam penegakkan hukum harus memiliki aspek knowledge, skill, dan attitude yang berkualitas dan berkompeten sehingga setiap penyidikan yang dilakukan dapat berjalan tanpa adanya kongkalingkong dan penyelewengan kewenangan.
Yang dapat diambil kesimpulan dari hal tersebut sebagai berikut :
- Era reformasi menempatkan Polri sebagai garda terdepan dalam melaksanakan penegakkan hukum di seluruh wilayah hukum Indonesia sehingga harus dijaga, dipertahankan, dan dipegang amanaha reformasi tersebut.
- Proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri selama ini dinilai oleh berbagai kalangan masih belum berjalan secara optimal sehingga memerlukan berbagai penataan, pembaruan, dan pembenaham.
- Kepercayaan masyarakat terhadap Polri dalam proses penegakkan hukum mengalami penurunan akibat adanya segelintir oknum Polri yang menyalahgunakan kewenangan sehingga berakibat pada penempatan posisi Polri yang rendah dalam berbagai survey yang dilakukan institusi independen.
- Diperlukan strategi penegakkan yang humanis sehingga dapat menciptakan rasa keadilan sosial di tengah masyarakat dalam rangka mewujudkan kepercayaan masyarakat yang besar terhadap Polri, melalui langkah dan tindakan yang kongkret dan aksi nyata.
Beberapa rekomendasi sebagai yang dapat di berikan sebagai berikut :
- Perlunya personil Polri yang bertugas dalam penegakkan hukum untuk memahami berbagai nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat, seperti adat istiadat, bahasa, kebiasaan, kultur, dan budaya yang berkembang sehingga setiap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dapat didekati dengan pendekatan sosial budaya masyarakat / pendekatan adat istiadat / pendekatan kearifan lokal, sebagai bagian dari rekayasa sosial.
- Perlunya keberanian, ketegasan, dan tindakan nyata dari pimpinan Polri untuk memberikan punishment / sanksi kepada setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, pelanggaran etika profesi, dan pelanggaran pidana secara profesional.
- Perlunya keteladanan pimpinan Polri dalam mengelola, memimpin, dan menahkodai institusi Polri sehingga menjadi tauladan, model, dan panutan bagi bawahan, staf, dan anak buah dalam menjalankan tugas penegakkan hukum.
Penulis : Gilang
Editor : Edi
Publish : Yolan
from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI http://ift.tt/2B8bSXk
via IFTTT
Tidak ada komentar