Peran Polri Dalam Keamanan Nasional (Revitalisasi Titah)
tribratanews.polri.kepri.go.id – Sejak 1 April 1999, secara kelembagaan Polri keluar dari Tentara Nasional Indonesia. Sebagaimana organisasi kepolisian di negara-negara demokrasi lainnya, fungsi Polri selanjutnya adalah sebagai alat negara, penegak hukum, pelindung dan pengayom serta pelayan masyarakat. Sebagai aparatur penegak hukum, maka tidak tepat lagi bila Polri menjadi bagian dari sebuah kesatuan yang bertugas mempertahankan negara, yakni Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Untuk selanjutnya, organisasi yang dikenal sebagai pengemban Tri Brata1 ini mesti melakukan berbagai perubahan, mulai dari paradigmatik sampai ke empirik. Tanpa semangat itu, nampaknya kepercayaan publik atas perubahan peran yang dimaksud, akan sulit dicapai. Bila hal ini terjadi, maka kesatuan ini tidak lagi mampu mengklaim dirinya sebagai Kepolisian Republik Indonesia, melainkan kepolisian yang jauh dari rakyat yang harus dilindungi dan dilayaninya, yakni rakyat Indonesia.
Konsekuensi dari hal itu semua, mau tidak mau Polri harus mereformasi diri dengan melakukan perubahan inovasi maupun revitalisasi dalm segala aspek tugas ke-polisi-annya, sehingga dengan demikian Polri mampu mengejar ketertinggalannya sekian lama untuk kembali ke tittahnya yakni sebagai “Polisi Masyarakat”.
Yang menjadi pertanyaan umum adalah, seberapa jauh hal itu telah dilakukan? Dalam masyarakat yang kian menuntut penerapan prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (good governance), barangkali tidak berlebihan bila pertanyaan tersebut dikemukakan. Karena Polri merupakan aparatur negara, maka pertanggung jawaban akhirnya adalah kepada pemilik kedaulatan, yakni seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks good governance, Polri sudah sewajarnya menjalankan prinsip-prinsip yang akuntabel, transparan, menghargai kesetaraan, taat hukum dan demokratik. Demokrasi kita sungguh-sungguh sesuai dengan konstitusi Indonesia -yang note bene telah diamandemen- yang mengatakan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat”, maka sudah selayaknya jika Polri bertanggung jawab kepada segenap stakeholders negara-bangsa ini. Sebagai bagian dari aparatur negara yang bertanggung jawab pada masalah keamanan dan ketertiban masyarakat, keberadaan Polri tidak dibenarkan di luar struktur atau sistem yang ada. Demi menjaga efektivitas dan efisiensi pengelolaan keamanan dan ketertiban, Polri sudah seharusnya masuk dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan sistem keamanan yang dibangun.
Untuk itulah maka reformasi Polri menjadi sebuah keniscayaan. Bila sebelumnya Polri menjadi bagian dari ABRI dan instrumen kekuasaan, sehingga sifat militeristiknya sangat terlihat, ke depan Polri harus berperilaku sipil dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian juga dalam memecahkan masalah kejahatan, Polri harus profesional, tidak boleh represif. Selain itu, Polri harus lebih dekat dengan rakyat di dalam melaksanakan misi penegakan hukumnya. Menjunjung tinggi keadilan dan menghormati HAM, merupakan persyaratan lain yang harus dilakukan Polri dalam mereformasi dirinya. Dengan kata lain, dalam mewujudkan misinya, Polri harus mampu membangun citra sebagai pelindung, pengayom, pelayan masyarakat, serta pengabdi bangsa dan negara.
Dalam bidang kemananan nasional, perlunya pemikiran ulang itu telah melahirkan sebuah langkah konkrit yang sangat fundamental. Polri, dikembalikan ke dalam posisinya sebagai alat negara penegak hukum. Dengan demikian, berbeda dengan masa-masa sebelumnya, Polri sejak April 1999 telah dipisahkan dari TNI, dan diharapkan menjadi lembaga otonom yang mampu diandalkan dalam proses yang belum ada sejarahnya, yakni keniscayaan negara hukum (Rechstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat). Polri dewasa ini diharapkan untuk
menjadi salah satu kekuatan yang mampu mengemban tugas tersebut, di samping lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Keberhasilan Polri di dalam menegakkan hukum akan menjadi salah satu indikator utama dari keberhasilan reformasi.
Sebagai bentuk keseriusan negara terhadap pemberdayaan kembali Polri dalam sistem keamanan nasional adalah dengan adanya Keputusan Presiden RI No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian RI lebih melembagakan lagi kedudukan Polri yang lepas dari Departemen Pertahanan RI dan dirumuskanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan selanjutkan di undangkannya UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Secara operasional, Polri berusaha melakukan perubahan struktural, instrumental dan kultural. Dengan cara itu maka kemandirian Polri merupakan salah satu pilar untuk mewujudkan masyarakat madani. Aspek struktural menyangkut institusi, organisasi, susunan dan kedudukan. Perubahan instrumental melibatkan perubahan filosofi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan iptek. Sementara perubahan kultural memusatkan pada manajemen sumber daya, manajemen operasional dan sistem pengawasan masyarakat, yang pada gilirannya akan berakibat pada perubahan tata laku, etika dan budaya pelayanan kepolisian.
Apa yang terungkap dalam uraian di atas, menunjukan sejumlah cita-cita dan harapan yang mesti dilakukan Polri dalam melaksanakan reformasinya. Rasanya tidak ada yang keberatan dengan reformasi Polri. Semua mendukung agar Polri sungguh-sungguh mampu mereformasi diri, dan menggunakannya sebagai alat penegak hukum yang efektif dan menjadi salah satu kekuatan negara yang mampu diandalkan dalam membangun demokrasi (democratc consolidation).
Reformasi struktural yang dimaksud adalah perubahan kelembagaan, organisasi dan kedudukan Polri. Berdasarkan panduan dari UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di atas, Polri telah melaksanakan berbagai penyesuaian agar organisasinya dapat lebih efektif menjawab tantangan jaman. Sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, organisasi Polri tidak lagi diarahkan untuk mendukung keberhasilan di bidang pertahanan. Tumpang tindih fungsi sebagaimana terjadi di masa lalu, antara fungsi pertahanan dan keamanan, sudah dinetralisir. Akibatnya, pengembangan organisasi Polri telah disesuaikan dengan misi di atas. Sesuai dengan aturan perundangan yang ada, keberadaan Polri sekarang jauh lebih otonom dan independen di dalam melaksanakan tugasnya. Keberadaannya di bawah Presiden, telah memungkinkannya demikian. Meski banyak pihak yang belum dapat menerima posisi tersebut, Polri harus berjalan berdasarkan aturan perundangan yang ada. Bagi Polri sendiri, posisi yang demikian akan memungkinkannya menjalankan visi dan misinya secara lebih optimal dibandingkan dimasukkannya Polri di bawah satu departmen. Sebagai alat negara yang harus melayani dan melindungi masyarakat, di satu pihak, dan menegakkan hukum di pihak lain, organisasi Polri harus mengakomodasi sistem yang terintegrasi (integrated system), yakni sebagai Kepolisian Nasional.
Sementara reformasi instrumental berupa perumusan aturan perundangan yang dijadikan dasar bagi reformasi Polri secara keseluruhan, yang dijabarkan dalam bentuk visi dan misi serta tujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Seperti telah diuraikan terdahulu, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dijadikan dasar hukum utama Polri dalam melakukan reformasinya.
Sedangkan reformasi kultural menggambarkan budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, dengan pujian, perasaan puas atau dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan perilaku polisi. Karena menyangkut nilai (values), perubahannya akan memerlukan waktu yang tidak cepat. Internalisasi nilai yang telah berlangsung bertahun-tahun, mustahil dapat diubah hanya dalam waktu yang singkat. Apalagi jika lingkungan struktural Polri tidak kondusif untuk itu, maka skala perubahannya akan makin lama. Makin kompleks masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik dihadapi bangsa ini, makin panjang pula proses perubahan kultural para anggota Polri. Keluhan banyak kalangan masyarakat terhadap cara-cara anggota Polri dalam menjalankan tugas, masih ditemui belum sesuai dengan harapan. Hal ini tentunya menjadi catatan tersendiri bagi Polri dan harus terus diupayakan reformasi kultural yang menyeluruh secara berkesinambungan sehingga reformasi Pori secara total bisa terwujud dengan segera.
Dalam kerangka sistem keamanan nasional, Polri adalah merupakan satu- satunya instrumen negara yang dinilai sesuai untuk mengemban amanah sebagai pemelihara keamanan nasional (dalam negeri), karena dari segi struktural dan instumental polri telah memenuhi syarat. Dimana Polri dalam tugasnya menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat. Belum ada instrumen negara yang lain yang diberi amanah tugas selengkap Polri, dan kalau kita mau menelisik kalatakanlah TNI hanya sebatas mengurusi keamanan negara yang manyangkut kedaulatan NKRI, begitupun Pemerintah daerah lebih banyak mengurus administrasi masyarakat, Hakim dan Jaksa terbatas pada penyelesaian hukum masyarakat. Hal ini tentunya menjadi cermin besar bagi kita semua bahwa instrumen negara yang mampu melaksanakan tugas penjaga keamana nasional (dalam negeri) adalah Polri.
Sejalan dengan itu, tidak juga menjadikan Polri apriori dan merasa sebagai pahlawan sendiri, karena negara juga mengatur perbantuan kepada Polri (kerjasama) dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional tersebut. Tapi dengan catatan bahwa “panglima” tetap berada di Polri.
Catatan akhir dari tulisan ini adalah bahwa masyarakat menaruh kepercayaan besar kepada Polri dalam pemeliharaan keamanan nasional karena Polri-lah satu-satunya instrumen negara yang paling cocok melaksanakan itu. Adapun lembaga lain sifatnya hanya membantu dan tidak boleh duduk sejajar dengan Polri untuk menghindari ketimpangan dan kekacauan hakikat tugas lembaga lain tersebut.
Penulis : Tahang
Editor : Edi
Publish : Yolan
from TRIBRATANEWS POLDA KEPRI http://ift.tt/2kMGNm1
via IFTTT
Tidak ada komentar